Jumat, 23 Mei 2008

KONSEP BID’AH PERSPEKTI AHMAD HASAN DAN SIRAJUDDIN ABBAS

Ali Qosim

Abstract

In Islamic law discourse, Muslim scholars have a different view in looking at the concept of bid’ah. Some of them say that bid’ah is forbidden in practical fiqh, especially fiqh ibadah, because it is no relevant with the Quran and Sunna. But, for the other ones say that bid’ah is not forbidden if it is only done in fiqh muamalah aspect. This paper explains about the concept of bid’ah in Islamic law thought that is focused on the view of Ahmad Hassan and Sirajuddin Abbas. In conclusion, I stated that Ahmad Hassan has forbidden bid’ah refer to Imam Malik fatwa’s, and Sirajuddin Abbas classified bid’ah hasana and bid’ah dhalala refer to Imam Syafi’i fatwa’s. However, the problem of bid’ah is always debatable and multi interpretable in Islamic legal thought today.

Keywords: bid’ah hasanah, bid’ah sayyiah, sunnah, ikhtilaf.

A. Pendahuluan
1. Makna Bid’ah dalam Islam
Bid'ah, sejak kemunculannya merupakan suatu permasalahan yang cukup rumit. Hal ini disebabkan sangat veriatifnya pemahaman orang-orang terhadapnya, baik itu para ulama maupun pengikut-pengikutnya. Lebih lanjut, di antara mereka sudah terjadi truth claim (klaim kebenaran). Mereka beranggapan bahwa pendapat yang mereka peganglah yang paling benar, hingga terhadap pendapat lainnya mereka anggap perlu diadakan verifikasi. Hal demikian terus berlanjut hingga sekarang. Hal ini tercermin dengan munculnya satu kasus di Minangkabau yang mengkategorikan para ulama dan pengikutnya menjadi dua golongan, yaitu golongan muda dan golongan tua.[1]
Satu realita tak terbantahkan, yakni untuk konteks hari ini (Indonesia), banyak sekali orang Islam yang dalam amaliyahnya sudah bercampur baur antara kebenaran dengan kebathilan, hingga dengan kata lain bisa dikatakan bahwa telah terjadi beberapa persangkaan yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya. Satu contoh konkrit adalah banyaknya muslimin yang menjadikan adat sebagai ibadat dan menjadikan ibadat sebagai adat, atau mencampur baurkan sunnah dengan bid'ah, mencampur baurkan yang buruk dengan yang baik.[2]
Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama, yang seharusnya menjadi rahmat bagi umat Islam seringkali malah justru yang terjadi adalah sebaliknya, bukan rahmat yang muncul tetapi musibah. Merebaknya ulama-ulama yang tergolong berpemikiran fundamentalis cukup memberikan warna terhadap para ulama yang tergolong liberalis. Kalau truth claim di antara mereka tidak cepat terhenti, maka satu realita yang telah di sinyalir oleh Umar ra., bukan merupakan hal mustahil akan terjadi. Beliau mengatakan bahwasanya keruntuhan Islam itu disebabkan oleh tiga faktor, yaitu Pertama, merebaknya kesalah pahaman di kalangan ulama. Kedua, perdebatan kaum munafiq. Ketiga, para pembesar (pemerintahan) menerapkan hukum yang keliru (menyesatkan).[3]
Dalam mendefinisikan bid'ah, baik secara etimologis maupun terminologis, para ulama berbeda pendapat. Di bawah ini penulis akan ketengahkan pendapat para ulama tentang interpretasi bid'ah baik secara lughat maupun syara’.
1.a. Pengertian Bid'ah Secara Etimologis
Dalam memberikan definisi bid'ah secara etimologis, para ulama sangat beragam sekali. Pada dasarnya cukup banyak ulama yang mendefinisikan bid'ah secara etimologis, namun di sini penulis akan memaparkan sebagiannya saja yang menurut penulis cukup representatif untuk mewakili definisi-definisi yang di kemukakan ulama lainnya.
Dalam bahasa Arab kata “bid'ah” mempunyai beberapa arti yaitu: Pertama, penemuan terbaru; Kedua, sesuatu yang sangat indah; Ketiga, lelah.[4]
Balagh[5], dalam mengemukakan interpretasi bid'ah, mengutip beberapa pendapat ulama yaitu diantaranya:
Khalil bin Ahmad al-Farahidi, mengatakan bid'ah adalah membuat atau mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya, baik berupa prilaku pernyataan maupun pengetahuan. Ar-Raghib juga menyebutkan bahwa “bid'ah” adalah menciptakan atribut atau sifat tertentu tanpa disertai suatu peniruan.
Ibn Faris berkata bahwa bid'ah memiliki dua pengertian, yaitu pertama, sesuatu yang muncul dan dibuat tanpa suatu percontohan; kedua, sesuatu yang terputus.
Fairuzabadi mengatakan bahwa bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan di dalam agama setelah sempurnanya agama, atau bisa juga bermakna sebagai perbuatan dan kecendrungan yang timbul setelah masa Rasulullah Saw.
Ali Mahfudh,[6] dalam kitabnya al-Ibda’ fii Madharil Ibtida’, mendefinisikan bid'ah secara bahasa adalah :
ما خلق من غير مثال سابق
“Segala sesuatu yang diciptakan dengan tidak didahului contoh.”
Sementara al-Raghib dalam kitab al-Mufradat mengartikan bid'ah secara bahasa yaitu menciptakan sesuatu tanpa mempergunakan alat, maddah (benda), masa dan tempat.
Orang Arab menamakan sesuatu pekerjaan yang indah yang belum ada contohnya dengan sebutan ‘amun badi’un yang artinya suatu pekerjaan yang indah, yang belum ada contoh yang mendahuluinya. Karenanya pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam agama dan dipandang indah oleh yang mengadakannya disebut bid'ah. Sedangkan pekerjaan bid'ah dalam bahasa Arab dinamai ibtida’ dan barang yang diperbuat tersebut dinamakan bid'ah.[7]
Imam ath-Thurtusyi dalam al-Hawadits wal Bida’, yang dikutip al-Atsari,[8] mengatakan bahwa secara lughat, bid'ah berasal dari kata al-Ikhtira’ yaitu sesuatu yang baru diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, dan masuk dalam kategori bid'ah ini adalah sesuatu yang diperbuat oleh hati, dikatakan oleh lisan, dan dilakukan oleh anggota badan.
Arti bid'ah seperti di atas, dinukil juga oleh Abu Syamah al-Maqdisi dalam kitabnya al-Baits ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, yaitu kata bid'ah jika disebutkan secara mutlak, maka maksudnya adalah perkara baru yang tidak baik yang ada dalam agama, dan orang yang melakukan hal itu dinamakan mubtadi’. Tetapi dari sisi akar kata bid'ah dapat dikatakan untuk sesuatu yang terpuji dan tercela, sebab yang dimaksud bid'ah secara bahasa adalah sesuatu yang baru yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya, karena itu dikatakan juga kepada sesuatu yang sangat indah.
Rahmat Taufiq,[9] mendefinisikan bid'ah berasal dari kata bada’a yang artinya mengadakan atau menciptakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh terlebih dahulu. Sedangkan orang yang pertama sekali menciptakan sesuatu atau orang yang mengadakan perbuatan bid'ah disebut mubtadi’ misalnya Edison, James Watt, atau Stevenson adalah mubtadi’, karena mereka adalah orang yang pertama kali menciptakan listrik, mesin uap dan kereta api.
Ibnu Hajar[10] dalam kitabnya mendefinisikan bid'ah secara lughat adalah
الأمرُ المُحدثُ الذى لم يَسبِق له نَظِيرٌ لأن مادة بدع للإختراع على غير مثال سابق
“Perkara baru yang belum ada pandangan sebelumnya karena penciptaan perkara tersebut tidak didahului contoh sebelumnya”
Hamud al-Mathar,[11] mendefinisikan bahwa bid'ah berasal dari kata “al-bida’” yang berarti menciptakan, menjadikan atau menemukan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Sedangkan ibtida’ (penemuan) itu ada dua macam bentuknya yaitu:
1. Penemuan di bidang adat dan kebiasaan, seperti penemuan-penemuan modern, hukumnya adalah mubah (boleh) karena hukum asal dalam masalah-masalah kebiasaan adalah mubah.
2. Penemuan di bidang ibadat, hukumnya adalah haram, karena hukum asal dalam ibadat adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil).
Ibnu Mandur sebagaimana di kutip At-Tuwaijiry[12] berpendapat bahwa bada’a syai’a berarti menciptakan sesuatu dan memulainya. Al-badi’ wa al-bid’u berarti sesuatu yang pertama. Sedangkan kata abda’a, ibtada’a dan taba’ada berarti mengada-adakan sesuatu bid'ah.
Kata al-badi’ berarti pencipta yang menakjubkan, al-badi’ berarti sama dengan al-mubdi’. Kata al-badi’ adalah salah satu asma Allah, karena Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu, maka Dia-lah pencipta yang pertama sebelum segala sesuatu ada. Bisa juga dikatakan al-mubdi’ artinya yang pertama kali menciptakan makhluk sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 117.
Kata badi’ juga berarti baru. Kata abda’at al-ibilu berarti onta itu menderum (berlutut) di tengah jalan karena lelah, sakit atau lapar. Abda’at al-ibilu juga bisa berarti lemah atau lelah.
Kata abda’a dan abda’a bihi berarti kendaraannya letih dan lelah sehingga terputus perjalanannya, atau punggungnya letih, lelah atau lemah. Kata ibda’ al-ibil selain berarti onta yang cape juga bisa berarti sesuatu yang baru, karena kebiasaan onta adalah berjalan terus.
Para ulama sepakat dalam mendefinisikan bid'ah secara lughat yaitu perkara baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, atau dengan kata lain bid'ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya. Sedangkan ruang lingkup bid'ah secara etimologis meliputi segala hal yang baru dan tidak disertai satu contoh, baik yang menyangkut aspek agama maupun adat istiadat.[13]
Dari paparan di atas terlihatlah bahwa di kalangan para ulama pada dasarnya dalam mendefinisikan pengertian bid'ah secara bahasa tidaklah terjadi perbedaan, walaupun secara redaksi kata, mereka berlainan tetapi pada substansinya sama.
1.b. Pengertian Bid'ah Secara Terminologis
Pada pembahasan sebelumnya telah penulis paparkan pengertian bid'ah secara lughat. Dalam bahasan ini penulis akan mengulas interpretasi bid’ah secara syara’. Dalam mendefinisikan bid'ah secara terminologis, para ulama banyak berbeda pendapat, baik itu dalam maksud luasnya maupun redaksi katanya. Namun demikian, secara garis besar, definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama tersebut dapat dipetakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, kelompok ahli ushul; dan kedua, kelompok fuqaha.
Untuk lebih memudahkan pemahaman dalam mencerna definisi bid'ah yang diajukan para ulama, penulis akan mencoba membahasnya satu persatu dan kemudian sebagai bahan komparasi penulis akan memaparkan juga menurut para ulama lainnya.
Kelompok ahli ushul, dalam mendefiniskan bid'ah secara terminologis terbagi menjadi dua yaitu, ahli ushul yang berpendapat bahwa bid'ah itu hanya menyangkut perkara ibadat saja, dan ahli ushul yang memasukan dalam perbuatan bid'ah segala urusan baik ibadat maupun adat.
Ahli ushul yang berpendapat bahwa bid'ah itu hanya menyangkut permasalahan ibadat saja, mendefiniskan bid'ah sebagai berikut:
البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في تعبد لله سبحانه وتعالى
“Bid'ah ialah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang dipandang menyamai syari'at dan maksud pengerjaannya adalah berlebih-lebihan dalam soal beribadat kepada Allah Swt.”
Sedangkan golongan ahli ushul yang berpendapat bahwa cakupan bid'ah itu meliputi bidang ibadat dan adat, mendefiniskan bid'ah sebagai berikut:
البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها مايقصد بالطريقة الشرعية
“Bid'ah ialah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang dipandang menyamai syari'at, yang dimaksudkan dengan mengerjakannya, apa yang dimaksud dengan mengerjakan agama sendiri.”
Golongan fuqaha pun sebagaimana golongan ahli ushul, dalam mendefiniskan bid'ah secara terminologi terdapat dua pendapat. Pertama, kelompok fuqaha yang memandang bid'ah hanya meliputi segala perbuatan yang tercela saja, menyalahi al-Qur'an dan sunah serta ijma’, kedua, kelompok fuqaha yang memandang bid'ah adalah meliputi segala sesuatu yang diada-adakan sesudah wafatnya Nabi Saw. baik itu merupakan kebaikan maupun kejahatan, baik ibadat maupun adat (urusan keduniaan).
Fuqaha yang hanya memandang bahwasanya bid'ah hanya mencover segala perbuatan yang tercela saja mendefiniskan bid'ah sebagai berikut:
البدعة هي الحديث المذموم بان احدث وخلف كتابا او سنة اواجماعا فهي مما لم ياذن به الشارع لاقولا ولافعلا ولا صريحا ولا اشارة ولا تتناول الامور العادية
“Bid'ah itu ialah perbuatan yang tercela, yaitu yang diada-adakan serta menyalahi al-Qur'an, sunah atau ijma’; inilah yang tidak diizinkan syara’ sama sekali, baik perkataan ataupun perbuatan, baik secara tegas maupun secara isyarat saja dan tidak masuk ke dalamnya urusan-urusan keduniaan.”
Sedangkan fuqaha yang berpendapat bahwa bid'ah meliputi segala sesuatu yang terjadi setelah wafatnya Nabi Saw. mendefiniskan bid'ah sebagai berikut:
ما احدث بعد النبى صلى الله عليه و سلم خيرا كان او شرا عبادة او عادة (وهي ما يراد منه دنيوي)
“Bid'ah itu ialah segala yang diada-adakan sesudah Nabi, baik yang diadakan itu berupa kebajikan maupun kejelekan, juga baik mengenai ibadat maupun adat (urusan dunia).”
Dari paparan di atas dapat diringkas sebagai berikut:
Bid'ah menurut pendapat kelompok yang mengatakan hanya berkisar masalah ibadat saja, ialah : “Segala sesuatu yang diada-adakan sesudah Nabi wafat serta dimaksudkan untuk dijadikan syara’ dan agama, padahal sesuatu tersebut (yang diada-adakan) itu tidak ada dalam agama, diada-adakannya itu karena suatu syubhat atau karena sesuatu ta’wil.
Maka, merujuk makna di atas, segala sesuatu yang dinamakan bid'ah itu semuanya tercela, namun tidak semua perbuatan tercela termasuk kategori bid'ah, jika perbuatan tercela tersebut tidak dijadikan agama. Yang dikatakan bid'ah hanyalah yang diada-adakan untuk dijadikan agama, dipandang agama dan dipandang suatu ibadat.
Sedangkan bid'ah menurut kelompok ulama yang memasukan perkara ibadat dan adat termasuk dalam kategori bid'ah berpandangan bahwa bid'ah adalah : “Segala apa yang diada-adakan, yang tercela; karena menyalahi al-Qur'an, sunah dan ijma’.” Ataupun pekerjaan yang tidak diizinkan syara’ baik dengan sabda rasul, dengan perbuatan, dengan terus terang ataupun isyarat.
Maka bid'ah menurut makna ini, disamping meliputi segala pekerjan yang dicela syara’ dan ditegahnya, juga meliputi segala hal yang baru (terjadi setelah wafatnya rasulullah) baik merupakan kebajikan maupun kejahatan serta baik berhubungan dengan ibadat maupun adat seperti pakaian, makanan dan lain sebagainya.
Maka bid'ah menurut makna ini meliputi pekerjaan yang wajib, haram, sunah, makruh dan mubah juga meliputi segala sesuatu yang berkenaan dengan adat, asalkan hal tersebut diadakan setelah wafatnya Nabi Saw.
Makna bid'ah yang diberikan oleh golongan yang tidak memasukan urusan adat kedalam bid'ah, di rujuk kepada Imam Malik dan ashabnya dan makna ini pula yang di tahkikan asy-Syatibi dalam mengulas soal bid'ah.
Adapun definisi yang pertama dari golongan yang kedua (fuqaha) disandarkan kepada asy-Syafi’i dan az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Qawaid. Sedangkan definisi yang kedua dikatakan merupakan paham asy-Syafi’i juga oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam syarah al-Arbain.[14]
Ali Mahfudh,[15] dalam kitabnya al-ibda’fi Madharil Ibtida’ mendefinisikan bid'ah secara terminologis yaitu :
البدعة هي عبارة عن طريقة في الدين تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في تعبد لله سبحانه وتعالى
“Bid'ah ialah suatu ibarat (gerak dan tingkah laku lahir batin) yang berkisar pada masalah-masalah agama (syariat islamiyyah). Dilakukannya menyerupai syariat dengan cara yang berlebihan dalam pengabdian kepada Allah Swt”.
Dari definisi di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa bid'ah adalah suatu hal baru yang tidak terdapat dalam konteks ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw. baik dalam masalah kaidah maupun syariat yang aturan-aturannya sudah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunah secara tafsil (rinci). Sedangkan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan sosial seperti urusan negara, pertanian, kedokteran, strategi perang dan lain-lain, semua itu tidak dikategorikan bid'ah (dalam arti bid'ah dholalah).
Setiap aturan yang mengungkap prinsip-prinsip kehidupan memerlukan pemikiran dan penjabaran secara rasional karena semua yang ada pada alam ini sifatnya berubah-ubah. Maka manusia yang hidup dengan memanfaatkan alam ini tentu akan memerlukan berbagai cara dan usaha guna mendapatkan manfaat tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan masalah akidah yang prinsip-prinsip ajarannya sudah dijelaskan secara rinci dalam al-Qur'an, meskipun diketahui bahwa dalam al-Qur'an masih terdapat ayat-ayat yang bersifat global.
Dalam mengartikan ayat-ayat yang bersifat global tersebut, umat Islam dituntut untuk memuat rumusan-rumusan baru dengan mengembangkan semua potensi akalnya guna menemukan makna yang benar-benar tepat dan relevan dengan kepentingan hidup manusia. Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah membuat hal-hal baru seperti ini bisa dikategorikan sebagai tindakan bid'ah yang menyesatkan? Tentu saja tidak karena tidak semua bid'ah otomatis menjadi sesat.[16]
Dalam mengomentari definisi bid'ah secara terminologis, Balagh,[17] mengutip beberapa pendapat ulama yaitu :
Ibnu Rajab mendefiniskan bid'ah sebagai sesuatu yang diciptakan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at. Adapun jika hal-hal tersebut memiliki dasar-dasar di dalam syari’at maka secara terminologi tidak dikategorikan sebagai bid'ah, meskipun ia tetap disebut sebagai bid'ah dalam konteks etimologi.
Ibnu Hajar al-Haitamy berpandangan bahwa bid'ah adalah segala sesuatu yang baru dan diciptakan dalam posisi bertentangan dengan syari’at baik terhadap dalil khusus maupun dalil umum.
Ath-Tharihi menyatakan bahwa bid'ah adalah perkara baru yang muncul dalam wacana agama yang tidak disertai adanya suatu landasan, baik al-Qur'an maupun as-Sunah. Hal tersebut diartikan sebagai bid'ah karena yang bersangkutan melakukannya dengan kehendak sendiri tanpa mengikuti tuntunan agama.
Syarif Murtadha mendefiniskan bid'ah sebagai penambahan atau pengurangan dalam masalah agama tanpa adanya suatu sandaran di dalamnya.
Sedangkan Allamah al-Majlisi mendefiniskan bid'ah dalam konteks terminologi sebagai apa-apa yang muncul pasca Nabi Saw. dan tidak terdapat nash khusus yang menyinggung tentangnya, serta tidak termasuk dalam kategori perkara umum atau lumrah.
Sesuatu yang umum apabila dalam pelakasanaannya dimaksudkan sebagai amalan khusus maka ia akan menjadi bid'ah. Salah satu contohnya adalah sholat merupakan suatu amalan yang baik dan diutamakan untuk dikerjakan setiap waktu, namun apabila seseorang menetapkan jumlah rakaat tertentu dan pada waktu tertentu secara khusus, maka mengakibatkan sholat tersebut berubah menjadi suatu bentuk bid'ah. Demikian halnya jika seseorang umpamanya menetapkan 70 tahlil pada waktu tertentu dan menganggapnya sebagai hal yang dikehendaki oleh sang pembuat syari’at untuk dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan tanpa adanya nash yang menyinggungnya, maka ia pun menjadi perkara bid'ah.
Secara ringkas dapat diartikan bahwa bid'ah adalah membuat hal-hal baru dalam masalah agama dan syari’at tanpa didukung suatu nash. Bisa jadi bid'ah tersebut terletak pada inti atau asal perkara yang bersangkutan maupun pada yang khusus serta pencabangannya.
Al-Astiyani mendefiniskan bid'ah sebagai penyisipan atau penambahan apa-apa yang bukan bagian dari agama ke dalam wacana agama, dan pelakunya mengamalkan hal tersebut dengan mengklaimnya sebagai perintah dari Allah Swt.
Muhsin Amin menyatakan bahwa bid'ah adalah memasukan apa-apa yang bukan bagian dari masalah agama ke dalam kerangka agama, seperti membolehkan yang haram, mengharamkan yang mubah atau mewajibkan dan menganjurkan yang bukan wajib serta lain sebagainya.
Al-Asqolani[18] menyatakan bahwa pokok dari bid'ah adalah sesuatu yang baru dibuat dan dimunculkan dengan tanpa suatu contoh sebelumnya. Sedangkan dalam syari’at pengertian bid'ah yang dimaksud adalah sesuatu yang menjadi lawan dari sunah dan oleh karenanya ia tercela.
Al-Syatiby[19] berpendapat bahwa bid'ah adalah suatu jalan dalam agama yang diciptakan sebagai tandingan dari syari’at, yang mana penerapannya dimaksudkan sebagai pelaksanaan syari’at. Pada tempat lain dia menegaskan pula bahwa dengan menjalankan pola tersebut, sasaran yang hendak dicapai adalah memperoleh “nilai tambah” dalam beribadat kepada Allah.
Al-Jizani,[20] berpendapat bahwa sesuatu perbuatan bisa dikategorikan bid'ah jika memenuhi tiga syarat yaitu:
1. Al-Ihdats (mengada-adakan)
2. Mengada-adakan ini disandarkan kepada agama
3. Hal yang diada-adakan ini tidak berpijak pada dasar syariat, baik secara khusus maupun umum.
Demikian sejumlah definisi tentang bid'ah dalam konteks syara’ menurut para ulama telah penulis paparkan, dan dari paparan di atas terlihat bahwasannya pengertian bid'ah dalam konteks terminologis menurut para ulama kebanyakan adalah penambahan sesuatu yang bukan bagian dari agama ke dalam agama atau dengan kata lain memasukan unsur-unsur non agama ke dalam kerangka agama.
Di antara sejumlah definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa definisi yang diajukan oleh Syarif Murtadha dan Sayid Muhsin memiliki keunggulan dengan ditambahkannya keterangan “...pengurangan dalam urusan agama...” sebagai hal yang juga termasuk dalam ruang lingkup bid'ah.
Dari paparan definisi bid'ah di atas, dapat ditarik garis kesimpulan yaitu, pengertian bid'ah secara lughat lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna tersebut ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid'ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid'ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid'ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid'ah secara syari’at.[21]
B. Macam-Macam Bid’ah Menurut Ulama
Sebelum penulis paparkan lebih lanjut bagaimana pandangan para ulama terhadap pembagian atau macam-macam bid'ah, ada baiknya sebagai awal pemahaman penulis paparkan terlebih dahulu bahwasannya dalam menyikapi pembagian bid'ah ini, para ulama sangat variatif sekali pendapatnya, namun secara global dapat penulis golongkan menjadi dua golongan, yaitu sebagian ulama sepakat dengan adanya pembagian model bid'ah, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa pembagian bid'ah merupakan suatu yang sangat diada-adakan atau dengan kata lain merupakan suatu yang bathil dan tidak berdasar sama sekali.
Ide penggolongan bid'ah kepada yang baik dan buruk lahir sebagai akibat bercampur aduknya –atau dengan ungkapan lain tidak dilakukannya pemilahan- antara bid'ah secara etimologi yang bermakna memunculkan sesuatu tanpa didahului suatu contoh dengan bid'ah dalam konteks memasukan apa-apa yang bukan bagian dari agama ke dalam wacana agama, atau menghapus suatu unsur agama dengan mengklaimnya sebagai bukan bagian darinya.
Perkara baru yang muncul tanpa didahului suatu contoh, bisa jadi merupakan sesuatu yang tercela apabila tidak sejalan dengan konstitusi syari'at. Namun apabila sejalan dan sesuai dengannya maka ia menjadi sesuatu yang mulia dan terpuji.
Bid'ah dalam pengertian bahasa acap kali merupakan suatu kemestian yang selaras dengan perkembangan hidup manusia beserta beragam kebutuhannya sepanjang masa. Sistem penulisan dan perangkat yang digunakan pada masa lampau, dari waktu ke waktu mengalami perkembangan dan kemajuan secara bertahap serta berkesinambungan, hingga mencapai tahap kemajuan seperti sekarang.
Bid'ah dalam konteks kebahasaan bisa dikelompokan menjadi dua, yaitu yang terkait dengan agama dan yang tidak terkait dengan agama. Segala sesuatu yang dianggap baru dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, baik berupa adat istiadat, tradisi atau tata upacara ritual- sepanjang tidak dianggap sebagai bagian dari konstitusi agama, serta inti maupun substansinya bukan hal yang diharamkan- maka ia dikategorikan sebagai bid'ah hasanah. Seperti perayaan hari kemerdekaan misalnya. Secara umum apa-apa yang dari substansinya adalah halal maka tidak ada masalah bagi umat Islam untuk berkonsensus menjadikannya sebagai adat kebiasaan diberbagai momen di berbagai kesempatan selama tidak adanya larangan syar’i. dalam pengertian seperti ini maka semua hal di atas adalah bid'ah secara etimologi.
Adapun jika hal tersebut merupakan sesuatu yang haram dari asal atau dzatnya seperti sufur an-nisa’ (wanita yang menanggalkan kerudung di depan laki-laki yang bukan muhrim), meskipun hal tersebut sudah dianggap lumrah dan sudah mentradisi serta menjadi suatu adat, ia tetap merupakan perkara yang haram dari asal atau dzatnya, yakni merupakan suatu bentuk pembangkangan dan maksiat terhadap syari'at dan perintah Tuhan. Keharaman hal tersebut disebabkan keberadaannya sebagai bid'ah dalam konteks syara’ yang bermakna masuknya unsur-unsur luar ke dalam urusan agama dan pengingkaran atas eksistensi hijab sebagai bagian dari konstitusi syari'at dan agama.[22]
Ibnu Abdus Salam dalam mengomentari ayat-ayat
افلا يتدبرون, افلا ينظرون افلا تعقلون, افلا تعلمون, فاعتبروا ياولى الالباب
sebagaimana dikutip Hsubky,[23] berpendapat membagi hukum bid'ah ke dalam lima bagian, yaitu Bid’ah wajibah, bid'ah muharramah, bid'ah mandubah, bid'ah makruhah dan bid'ah mubahah.
Adapun macam-macamnya bid'ah terbagi menjadi dua yaitu bid'ah haqiqiyah dan idhafiyah. Bid'ah haqiqiyah ialah suatu perbuatan baru dalam Islam yang jika dilihat dari berbagai aspek perbuatannya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah karena tidak terdapat dalam al-Qur'an. Bid'ah ini oleh para ulama disebut bid'ah dholalah. Seperti: Menyembah selain Allah, bersikap rahbaniyyah (tidak beristeri atau bersuami dan mengurung diri dalam biara), Praktek hinduisme dalam penyiksaan diri dengan berbagai cara kekerasan seperti membakar diri dengan api atau menjauhkan diri dari kehidupan materi (moksa), dan lain sebagainya.
Bid'ah idhafiyah ialah perbuatan yang jika ditinjau dari segi pelaksanaannya tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits Nabi, namun jika dilihat dari esensi perbuatannya adalah baik. Bid'ah ini yang senantiasa menjadi polemik bagi para ulama (khususnya fuqaha) dan ilmu kalam. Salah satu contohnya sholat raghaib 12 rakaat pada malam jum’at di bulan Rajab dengan kaifiyah khusus pada setiap rakaatnya.
Dalam hal ini ada sebagian ulama yang menganggap amalan tersebut bid'ah dengan alasan belum pernah dilakukan Nabi Saw. sebagian lagi tidak menganggap bid'ah karena jika dilihat dari hakikatnya sholat sunah seperti itu sebagai perbuatan baik untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.[24]
Dalam interpretasi bid'ah, telah penulis paparkan bahwa dalam memberikan definisi bid'ah, para ulama terbagi kepada kelompok ahli ushul dan kelompok fuqaha. Hal demikian berimbas kepada pengkategorian bid'ah itu sendiri. Dalam mengklasifikasikan bid'ah, kedua kelompok di atas sepakat membaginya menjadi dua yaitu ; pengklasifikasian secara umum dan secara khusus.
1. Klasifikasi Umum
Baik golongan ahli ushul maupun fuqaha telah berkonsensus dalam mengklasifikasikan bid'ah secara umum kepada:
1. Fi’liyah (melakukan sesuatu perbuatan)
2. Tarkiyah (meninggalkan sesuatu tuntutan agama, baik wajib maupun sunah, dengan memandang bahwa meninggalkan itu agama )
3. Amaliyah (bid'ah-bid'ah yang dikerjakan dengan anggota badan baik luar dan dalam, dan perbuatan yang dikerjakan tidak dilakukan oleh Nabi Saw)
4. I’tiqodiyah (meyakini suatu kepercayaan yang berlawanan dengan yang diterima dari Rasul, karena suatu kesamaran. Seperti menyapu kaki dalam berwudlu)
5. Zamaniyah (meletakan ibadat di masa tertentu)
6. Makaniyah (meletakan sesuatu ibadat di tempat yang tertentu)
7. Haliyah (meletakan ibadat dalam keadaan yang tertentu)
8. Haqiqiyah (sesuatu pekerjaan yang semata-mata bid'ah, dan tidak ada landasannya dari syara’)
9. Idhafiyah (sesuatu bid'ah yang terdapat padanya dua aspek. Apabila ditinjau dari aspek pertama, ia bukan bid'ah, tetapi bila ditinjau dari aspek kedua, nyatalah kebid’ahanya)
10. Kulliyah (perbuatan yang mendatangkan kecederaan yang umum, seperti mengingkari hadits lantaran mencukupkan dengan al-Qur'an)
11. Juz’iyah (yang mencederakan sesuatu pekerjaan saja, seperti berdiri dengan satu kaki dalam sholat)
12. Ibadiyah (perbuatan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah)
13. Adiyah (perbuatan yang dilakukan bukan dengan maksud ibadat)
2. Klasifikasi Khusus
Segolongan fuqaha, membagi bid'ah secara khusus kepada lima bagian. Pembagian ini pada awalnya terbagi menjadi dua yaitu: pertama, bid'ah hasanah; dan kedua, bid'ah sayyi’ah. Adapun bid'ah hasanah mereka membaginya kepada wajibah, mandubah dan mubahah. Sedangkan bid'ah sayyi’ah terbagi kepada muharamah dan makruhah. Dengan demikian menjadilah bid'ah itu kepada lima bagian, yaitu wajibah, mandubah, mubahah, muharamah dan makruhah.[25]
Fuqaha yang membagi model bid'ah seperti di atas, diantaranya adalah as-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Husnudu’at[26] sebagai berikut:
عن حَرمَلَةََ بن يَحيَى قال:سمعت الإمام الشافعى رض يقول ألبِدعَة بِِِدعَتانِ: بِدعَةٌ مَحمُودَة وبدعَة مَذمُومَة فما وَفَقَ ألسُنَةََ فهو مَحمُودٌ وَما خَالَفَ ألسُنَة فهو مَذمُومٌ
“Dari Harmalah ibnu Yahya berkata: saya mendengar Imam Syafi’i berkata bid'ah itu ada dua macam, pertama bid'ah mahmudah dan yang kedua bid'ah madzmumah, yang sesuai dengan hukum syara’ itulah bid'ah mahmudah (hasanah) dan yang tidak sesuai dengan sunah itulah bid'ah madzmumah (sayyi’ah).”
Lebih lanjut dia mengutip pendapat Ibnu Hazm sebagai berikut: “bid'ah dalam istilah agama adalah segala sesuatu yang tidak terang dalilnya baik dari al-Qur'an maupun hadits. Kadang-kadang orang yang bersangkutan juga berpahala karena apa yang dimaksudkan adalah dari kebajikan, yang demikian itu adalah bid'ah hasanah dan memang asalnya boleh, sedangkan selainnya ada juga bid'ah madzmumah. Bid'ah ini tidak dapat diterima apabila ada dalil yang menunjukan bahwa bid'ah ini tidak benar”.
Pendapat senadapun dikemukakan oleh beberapa ulama lainnya, walaupun dengan memakai redaksi kata yang berbeda. Diantara para ulama yang sepakat dengan pendapat di atas ialah Ibnul Jauzi, Syihabuddin al-Qurafi, Syihabuddin Abu Syamah, Imam Nawawi, Ibnul Atsir, al-Ghozali, Badrudin al-Aini.
Sementara sekelompok ulama yang lain berpendapat bahwa dalam bid'ah itu tidak ada pembagiannya (hasanah dan sayyi’ah). Pendapat demikian dikemukakan Ibnu Taimiyyah yaitu sebagai berikut:
لا يَجُوزُ حَملُ قولِهِ ص.(كلّ بدعة ضَلالة) عَلى البِدعَةِ ألتى فهى عَنهَا بخُوصِهَا
“Tidak boleh membawa hadits (kullu bid’atin dholalah) kepada bid'ah yang terlarang (madzmumah) saja dalam arti khusus”.
Pendapat demikian dikemukakan juga oleh as-Syatibi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Rajab al-Hambali, Abu Bakar at-Thurtusy, M.Abd Salam Khidir dan az-Zarkasyi, walaupun dalam penyampaiannya mereka memakai redaksi yang berbeda.[27]

C. Konsep Bid'ah dalam Pemikiran Ahmad Hasan
1. Definisi Bid'ah Menurut Ahmad Hasan
Dalam pembahasan sebelumnya telah penulis ulas pengertian bid'ah menurut para ulama. Dan dalam bab ini penulis akan mengkhususkan paparan tentang pengertian bid'ah atau lebih luasnya tentang konsep bid'ah menurut Ahmad Hasan dan Sirajuddin Abbas.
Pada dasarnya dalam merumuskan konsep bid'ah, A.Hasan tidaklah merumuskan (berijtihad) dengan pendapatnya sendiri, atau dengan kata lain konsep bid'ah yang dikemukakan A.Hasan merupakan kutipan (adopsi) dari pendapat asy-Syatibi. Hal demikian tercermin dari pendapatnya yang selalu menyandarkan kepada perkataan as-Syatibi yang di maktub dalam al-I’tisham.
Ahmad Hasan[28] dalam mendefinisikan bid'ah, memandangnya dari dua segi, yaitu dari segi lughat dan dari segi istilah. Adapun definisi bid'ah secara lughat menurutnya, berdasarkan ayat al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 117 dan al-Ahqaf ayat 9 adalah sebagai berikut :
ألإختِرَاعُ عَلىَ غَيرِ مِثالٍ سَابِقٍ
“Mengada-adakan sesuatu dengan tidak ada contoh yang terdahulu.”
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa bid'ah secara lughat adalah segala sesuatu yang dibuat atau diciptakan dengan tanpa model atau contoh sebelumnya, dengan kata lain hal-hal yang diciptakan adalah merupakan sesuatu yang baru, dalam hal ini sebagian orang mengidentikan bahwa sesuatu tersebut merupakan hal-hal yang pada masa Nabi Saw belum pernah ada. Dengan demikian setiap sesuatu yang diciptakan pertama kali adalah termasuk dalam kategori bid'ah, contohnya membuat kereta api, telepon dan sebagainya.
Sedangkan bid'ah secara syara’ menurut Ahmad Hasan sebagaimana mengutip pendapat as-Syatibi dalam kitab al-I’tisham yaitu:
طَريقَة في الدِينِ مُخترَعَة تُضاهِي الشرعِيّة يُقصَدُ بالسُّلوُكِ عَليها المُبَالَغَةُ في تَعَبُّدِ لله سبحانه وتعالى
“Satu cara yang diadakan (orang) dalam agama yang menyerupai hukum syara’ dimana maksud dan tujuan mengerjakannya ialah berlebih-lebihan dalam beribadat kepada Allah Swt.” atau
البدعة هي طَريقَة في الدِينِ مُخترَعَة تُضاهِي الشرعِيّة يُقصَدُ بالسُّلوُكِ عَليها ما يُقصَدُ بِالطَريقَةِ الشرعِيّةِ
“Bid'ah ialah suatu cara yang diadakan (orang) dalam agama, yang menyerupai hukum syara’ yang dimaksudkan mengerjakannya ialah apa yang dimaksudkan dengan (mengerjakan) cara syari’at.”
Dari dua definisi bid’ah di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa bid’ah merupakan satu cara atau ibadah yang diada-adakan oleh orang di dalam agama dengan maksud beribadat kepada Allah dengan perbuatan tersebut.
Adapun untuk lebih memperjelas makna bid’ah di atas, Hasan memberikan beberapa contoh sebagai berikut:
1. Mengadakan makan-makan dan dzikir pada hari kematian, yakni yang biasa dilakukan pada malan pertama, kedua, ketiga, ketujuh dan seterusnya.
2. Membaca kitab maulid dengan bahasa Arab oleh orang-orang yang tidak mengerti bahasa tersebut.
3. Memabaca lafadz ushalli pada permulaan shalat.
Hal-hal di atas dikategorikan bid’ah karena tidak diperintahkan oleh agama dan perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang bersifat keduniaan, di samping itu pula orang yang melakukan perbuatan tersebut mempunyai maksud beribadat kepada Allah, atau dengan kata lain untuk mendapatkan pahala, lebih jauh lagi mereka menganggap perbuatan-perbuatan tersebut adalah sunnah, yang otomatis berpahala bagi yang mengerjakannya.
1. وضع الحدود كالناذر لصيام قائما لايقعد ضاحيا لايستظل Artinya: “Membuat batas-batas seperti orang yang nadzar shaum dengan berdiri, tidak duduk, berpanas-panasan tidak berteduh”
Shaum nadzar di luar bulan Ramadhan itu dibenarkan, tetapi shaum dengan cara berdiri sambil berpanas-panasan (tidak berteduh) itu tidak diperintahkan dan dibenarkan oleh agama, sedangkan orang yang mengerjakannya itu dengan maksud berlebih-lebihan di dalam ibadat, yakni agar dia mendapat pahala yang lebih banyak dari apa yang dikerjakannya tersebut, karena yang dikerjakannya itu lebih berat dari hal yang biasa.
إلتزام الكيفيات والهيئات المعينة كالذكر بهيئة الإجتماع على صوت واحد2.
Artinya: Mengadakan cara-cara dan gerak-gerak yang tertentu, seperti berdzikir dengan cara berkumpul bersama-sama dipimpin seorang imam dengan suara yang keras.
Dzikir pada asalnya adalah baik, tetapi hal tersebut dipandang bid’ah karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak diperintahkan agama, seperti dengan cara berkumpul, memakai hitungan, memakai seorang imam dan ma’mum, dengan suara bersama dan sebagainya. Di samping itu pula hal demikian dikerjakan dengan maksud ibadat.
إلتزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة كالتزام صيام يوم النصف من شعبان وقيام ليلته
Artinya: Mengadakan ibadat-ibadat tertentu pada waktu yang tertentu yang tidak ada padanya ketentuan dalam syara’, seperti menentukan shaum nisfu sya’ban dan beribadat pada malam harinya.
Shaum itu pada dasarnya sunah, tetapi yang menjadikannya bid’ah adalah dilaksanakan pada tempat dan waktu tertentu yang ditetapkan orang.[29]

2. Pembagian Bid'ah Menurut Ahmad Hasan
Bid’ah menurut A. Hasan[30] terbagi kepada dua bidang yaitu ibadat dan adat. Adapun bid’ah dalam bidang ibadat tidak ada pembagiannya, atau dengan kata lain bid’ah yang melingkupi perkara ibadat semuanya adalah sesat. Dalam mengemukakan pembagian bid’ah seperti di atas, Hasan mendasarkan pendapatnya pada perkataan asy-Syatiby sebagai berikut :
إنّ هذا التقسيم أمرٌ مخترعٌ لايدلُّ عليه دليلٌ شرعيّ بل هو في نفسه متدافع لأنّ من حقيقة البدعة أن لا يدلّ عليه دليل شرعيّ لا من نصوص الشرع ولامن قواعده إذ لو كان هنالك مايدلّ من الشرع علي وجوب أو ندب أوإباحة لمّا كان ثمّ بدعة ولكان العمل داخلا في أموم الأعمال المأمور بها أو المخيّر فيها
“Sesungguhnya pembagian (bid’ah atas lima) merupakan satu perkara bid’ah yang tidak satupun dalil syara’, bahkan di dalam diri (pembagian) itu sendiri ada pertentangan karena hakekat bid'ah itu ialah sesuatu yang tidak ditunjukan (boleh atau tidaknya) oleh dalil syara’, baik itu dari nash-nashnya maupun dari kaidahnya, karena kalau sudah ada dalil syara’ yang menunjukan atas wajib, sunat atau mubah, maka bukan lagi merupakan bid'ah dan tentulah amalan itu termasuk dalam umumnya amalan-amalan yang diperintahkan atau diharuskan.”
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa jika bid'ah di dalam syara’ itu terbagi kepada hukum yang lima (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah), berarti bid'ah mempunyai ketentuan hukum. Sedangkan yang terkategorikan bid'ah adalah sesuatu perbuatan yang belum (tidak) ada ketentuan hukumnya, sebab bid'ah itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak ada contohnya dari agama.[31]
Hasan[32] dalam mengomentari pembagian bid'ah, selain mengutip pendapat as-Syatibi, juga mengutip perkataan Imam Malik yaitu:
قال إبن الماجشون سَمِعْتُ مالِكاً يقولُ مَن إبتدَعَ في الإسلامِ بدعة يَرَاها حسنةً فقدْ زَعَمَ أنّ مُحمّدًا خانَ الرِّسالةَ لأنّ الله يقولُ أليومَ أكملتُ لكم د ينَكُم فما لم يكنْ يومئدٍ ديناً فلا يَكونُ اليومَ ديناً
“Ibnu al-Majisun berkata, saya pernah mendengar Imam Malik berkata: “Barang siapa mengadakan satu bid'ah dalam Islam dan ia menganggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka sesungguhnya ia telah menyangka bahwa Muhammad Saw menghianati risalah, sebab Allah Swt berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu” maka apa-apa yang bukan menjadi agama pada hari itu, pada hari inipun tidak akan menjadi agama.”
Sedangkan bid’ah dalam masalah adat (keduniaan) terbagi kepada hasanah dan sayyi’ah. Adapun yang termasuk kategori hasanah adalah hal-hal yang tergolong kepada perkara wajib, sunah dan mubah, sebaliknya yang termasuk dalam kategori sayyi’ah ialah perkara-perkara yang haram dan makruh.
Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh A. Hasan untuk membagi bid'ah yang melingkupi adat adalah sebagai berikut:
1. Hadits Riwayat Muslim
حدثني زهير بن حرب حدثنا جرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن موسى بن عبد الله بن يزيد وأبي الضحى عن عبدالرحمن بن هلال العبسي عن جرير بن عبد الله قال جاء ناس من الأعراب الى رسول الله ص. عليهم الصُرفُ فرأى سوء حالهم قد أصابتهم حاجة فحث الناس على الصدقة فأبطؤا عنه حتى رُئيَ ذلك فى وجهه قال ثم إن رجلا من الأنصار جاء بصرة من وَرِقٍ ثم جاء أخرُ ثم تتابعوا حتى عُرِفَ السُرورُ فى وجهه فقال رسول الله ص. من سن فى الاسلام سنة حسنة فعُمِلَ بها بعده كُتِبَ له مثل اجر من عمل بها ولا ينقص من اجورهم شيئ ومن سن فى الاسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وِزرِ من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيئ
“Dari Jarir bin Abdillah berkata, telah datang sekelompok orang Badui yang sedang menanggung suatu tebusan, kepada Rasul sehingga terlihatlah jeleknya kondisi mereka yang sedang membutuhkan bantuan, lalu Rasulullah menganjurkan kepada orang-orang untuk bersodaqoh (membantunya) tetapi orang-orang tersebut tidak menghiraukannya sehingga hal itu terlihat dihadapan Rasul, kemudian Jarir berkata sesungguhnya telah datang seorang Anshor dengan membawa segepok uang kertas, lalu datang orang yang lainnya dan mengikutinya sehingga terlihatlah kegembiraan diwajah Rasul, kemudian Rasul bersabda, “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunah yang baik) dan sunah tersebut diamalkan oleh orang sesudahnya, maka kepadanya diberikan pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya kemudian, dengan tidak mengurangi sedkitpun juga pahala orang yang mengerjakan kemudian itu, dan barang siapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyi’ah (contoh yang jelek) dan sunah tersebut diamalkan oleh orang sesudahnya, maka kepadanya diberikan dosa seperti dosa orang yang mengerjakannya kemudian, dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” [33]

2. Hadits Riwayat Muslim
حدثنا أبو بكرِبنُ أبي شَيْبَةَ وعَمرٌو النَّاقِدُ كِلاهُما عن الأسْوَدِ بنِ عامرٍ قال أبو بكرٍ حدثنا أسودُ بنُ عامرٍ حدثنا حَمَّادُ بنُ سَلَمَةَ عَن هِشامِ ابنِ عُروةَ عن أبيهِ عن عائشةَ عن ثابتٍ عن أنَسٍ أنَّ النبَّى ص. مَرَّ بِقَومٍ يُلَقِّحُونَ فقال لَوْ لَمْ تَفعَلُوا لَصَلُحَ قال فَخَرَجَ شِيْصًا فمَرَّ بِهِمْ فقال ما لِنَخْلِكُمْ قالوا قلتَ كذا وكذا قال أنتُمْ أعلمُ بأمرِ دُنياكُمْ
“Dari Anas ra. bahwasannya Nabi Saw bertemu dengan suatu kaum yang mengejeknya, maka beliau berkata jika kamu tidak melakukan yang demikian niscaya kamu lebih baik, Anas berkata, akhirnya Nabi terbebas dari kejelekan tingkah laku kaum tersebut, maka Nabi menemui mereka dan berkata, “Apa yang menyebabkanmu melakukan hal demikian?” mereka menjawab, hal demikian disebabkan kamu telah mengatakan begini dan begini, lalu Nabi bersabda, “kamu lebih mengetahui tentang urusan keduniaanmu.” [34]

3. Dasar Hukum Bid’ah Menurut Ahmad Hasan
Dalil-dalil yang digunakan A.Hasan dalam menentukan konsep bid'ah adalah sebagai berikut :
Dalil-dalil al-Qur'an :
A. Surat al-Baqarah ayat 117 :
بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ(117)
“Allah pencipta langit dan bumi dan jika Ia berkehendak untuk menciptakan sesuatu maka (cukuplah) Ia mengatakan “jadilah” maka jadilah ia”. [35]
B. Surat al-Ahqaf ayat 9 :
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ(9)
“Katakanlah aku bukanlah rasul yang pertama di antara para rasul. Aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu, aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan”. [36]
Sedangkan dalil-dalil yang digunakan oleh A.Hasan yang diambil dari hadits Nabi adalah sebagai berikut :
1. Hadits Riwayat Muslim
حدثنا إسحق بن إبراهيم و عبدُ بنُ حُمَيدٍ جميعا عن أبي عامِرٍ قال عبدٌ حدثنا عبدُ الملِكِ بنُ عَمرٍ و حدثنا عبدُ الله بنُ جعفرٍ الزهريِّ عن سعدٍ إبن إبراهيمَ قال سألتُ القاسمَ بنَ محمدٍ عن رجلٍ له ثلاثةُ مساكنَ فأوصَى بِثلوثِ كلِّ مسكنٍ مِنها قال يُجمَع ذلك في مَسكَنٍ واحدٍ قال أخبَرَتنِي عائشة رضي الله عنها أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم قال: ” مَن عَمِلَ عَمَلا لَيسَ عليه أمرُنا فهو رَدٌّ "
“Dari Said bin Ibrahim berkata, saya bertanya kepada Qosim bin Muhammad tentang seorang laki-laki yang mempunyai tiga rumah, lalu dia berwasiat dengan 1/3 (sepertiga) dari tiap-tiap rumah. Said berkata bagian-bagian tersebut dikumpulkan menjadi satu rumah lalu A’isyah mengabarkan kepadaku bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan amal ibadah yang tidak kami perintahkan, maka amalnya itu ditolak.” [37]
2. Hadits Riwayat Muslim
حدثني محمد المثنى حدثنا عبد الوهاب بن عبد المجيد عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جبير بن عبد الله قال كان رسول الله ص. إذا خطب إحمرت عيناه وعلا صوته واشتد غضبه حتى كأنه مندر جيس يقول صبحكم ومساكم ويقول بعثت أنا والساعة كهاتين ويقرن بين إصبعيه السبابة والوسطى ويقول أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدى محمد و شر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة ثم يقول أنا أولى بكل مؤمن من نفسه من ترك مالا فلأهله ومن ترك دينا أو ضياعا فإلي وعلي
“Dari Jabir bin Abdullah Ra berkata: bahwasanya Rasulullah ketika berkhutbah kedua matanya memerah, suaranya tinggi dan kemarahannya meluap, hingga seakan-akan dia seperti penasehat tentara yang berkata “Semoga Allah memberkati kalian di waktu pagi dan sore, “kemudian melanjutkan” Aku diutus dan hari kiamat seperti ini, “mendekatkan antara dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah seraya bersabda,”amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru dan setiap perkara baru adalah sesat. Kemudian beliau bersabda,”Saya lebih utama bagi setiap orang mukmin daripada dirinya sendiri, barang siapa yang mewariskan harta maka itu untuk keluarganya, dan barang siapa mewariskan agama maka akan kembali kepadaku, atau menghilangkannya maka dia akan berhadapan dengan-Ku.”[38]
3. Hadits Riwayat Abu Daud
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا الوليد بن مسلم ثنا ثور بن يزيد ثنا خالد بن معدان قال ثنا عبد الرحمن بن عمر والسلمى وحجر بن حجر قالا أتينا العرباض بن سارية وهوممن نزل فيه ولا على الذين إذا ماأتو لنا لتحملهم لا أجد ماأجملكم عليه فسلمنا وقلنا أتيناك زاءر بن وعائدين ومقتبسين فقال عرباض صلى بنا رسول الله ص. الصبحى ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال قائل يارسول الله كان هذه موعظة مودع فماذا تعهد الينا فقال أصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى إختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلافاء الراشدين المهديين فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحد ثات الأمور فإن كل محد ثة بدعة وإن كل بدعة ضلالة
“Berkata ‘Irbad pada suatu hari kami shalat subuh bersama Rasulullah Saw, lalu beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat yang (karenanya) melelehkan air mata dan menggetarkan hati, lalu seseorang dari kami berkata, wahai Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat dari seseorang yang akan berpisah, maka berilah berilah nasehat kepada kami, lalu Rasulullah Saw bersabda, saya berwasiat kepada kalian semua, supaya kalian bertaqwa kepada Allah, mendengar dan patuh kepada ulil amri, walaupun ulil amri itu orang berkulit hitam sekalipun. Selanjutnya beliau mewasiatkan barang siapa di antara kalian yang hidup sesudahku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Di saat seperti itu hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah rasyidin yang dapat petunjuk yang benar. Pegang teguhlah semua itu dan gigitlah dengan gerahammu, jauhilah perkara baru yang diada-adakan (bid'ah), karena “semua” yang baru, yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan “semua bid'ah” itu adalah sesat.” [39]
4. Metode Istimbath al-Ahkam Ahmad Hasan
Dalam paparan sebelumnya, telah disinggung bahwasanya dalam mengemukakan konsep bid'ah, A.Hasan merujuknya kepada pendapat as-Syatiby dan as-Syatiby pun bisa dikatakan merujuk pada pendapat Malik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode istimbath al ahkam yang digunakan pun merujuk pula ke metode istimbat al ahkam yang digunakan Malik. Dalam bab ini penulis akan jelaskan secara global tentang dasar hukum dan metode istimbat al ahkam yang digunakan oleh Imam Malik.
Malik sama seperti Abu Hanifah, tidak membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi landasan madzhabnya dan yang menjadi pedoman baginya dalam menetapkan hukum. Malik tidak seperti asy-Syafi’i yang mendewankan dasar-dasar yang dipegangnya dan menerangkan alasan-alasan mengapa hal tersebut dipeganginya serta kedudukan masing-masing dasar dalam bidang istidlal. Namun walaupun begitu, Malik telah membayangkan dasar-dasar itu dengan jalan membukukan sebagian fatwa-fatwanya, masalah-masalahnya, dan hadits-haditsnya dalam al Muwatha’.[40]
Asy-Syatiby dalam al-Muwafaqat menyimpulkan dasar-dasar Malik dalam empat dasar yaitu: al-Qur'an, as-Sunah, ijma’ dan ra’yu. Qaulus sahabi amal ahlul Madinah digolongkan ke dalam as-Sunah, sedangkan ra’yu mencakup maslahah mursalah, saddud dzara’i, adat (urf) istishan dan istishab.[41]
Itulah kiranya dasar-dasar hukum dan metode istimbath al-ahkam yang digunakan Imam Malik secara garis besarnya. Adapun Ahmad Hasan, dalam menentukan konsep bid'ah beristimbath dengan memakai metode istidlal (mengambil secara langsung dari dalil yang ada). Untuk lebih rincinya akan penulis jelaskan sebagai berikut :
...أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدى محمد و شر الأمور محدثاتهاوكل بدعة ضلالة.
...فقال أصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى إختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلافاء الراشدين المهديين فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحد ثات الأمور فإن كل محد ثة بدعة وإن كل بدعة ضلالة.
Pertama, Ahmad Hasan berpendapat bahwa hadits-hadits di atas itu semuanya menggunakan lafadz umum, atau lebih spesifiknya lafadz “kullu bid'atin dholalah” dalam hadits tersebut mengandung arti umum (tidak berarti khusus). Hal demikian sebagaimana dijelaskan oleh asy-Syatiby dalam kitab al-I’tisham. Beliau mengatakan bahwasanya lafadz “kullu bid'atin dholalah” itu merupakan lafal umum yang mutlak (tidak ada pengecualiannya sama sekali). Hal ini terlihat dari tidak adanya taqyid dan takhsis dalam redaksi tersebut. Selain itu pula lafadz tersebut telah diulang beberapa kali dan sebagai sebuah pernyataan. Hal demikian cukuplah menjadi bukti bahwasanya makna lafal tersebut tetap pada makna yang umum. Jadi dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa semua bid'ah itu (tanpa pengecualian) adalah sesat atau dholalah.[42]
Kedua, bahwasanya hadits
.... من سن فى الاسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل اجر من عمل بها ولا ينقص من اجورهم شيئ ومن سن فى الاسلام سنة شيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من اوزارهم شيئ
Merupakan hadits yang menunjukan masalah keduniaan atau kalaupun bisa dikatakan, hadits tersebut membicarakan bid'ah yang melingkupi adat bukan bid'ah yang melingkupi permasalahan ibadat. Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain yang berbunyi “antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Selain itu pula Rasulullah bersabda, “Barang siapa mengerjakan suatu amal yang tidak begitu perbuatan kami, maka ia tertolak.” Yang dimaksud dengan “perbuatan kami” dalam hadits itu ialah perkara ibadat. Jadi sudah jelas dalam perkara agama, tidak boleh satupun dianggap baik kalau tidak ada contoh dari Rasulullah.
Rasulullah telah melarang keras kita mengadakan bid'ah dalam perkara ibadat, tetapi beliau membolehkan kita untuk mengadakan bid'ah dalam perkara keduniaan, karena itu maka tiap-tiap hadits atau riwayat yang menerangkan bid'ah hasanah, itu sudah sangat pasti dipandang berhubungan dengan perkara keduniaan sedangkan tiap-tiap hadits atau riwayat yang menerangkan kejelekan bid'ah itu, sudah mesti dipandang untuk perkara ibadat.[43]
Adapun perkataan Umar Ibnul Khatab “ni’matul bid'atu hadihi” itu hanya untuk menunjukan arti bid'ah secara lughat saja. Karena pada dasarnya shalat taraweh berjama’ah pernah dilakukan pada zaman Rasulullah.
Ketiga, dalam memahami pembagian hadits, yang telah dikemukakan oleh ad-Dahlawi, A.Hasan memahami bahwa pada dasarnya, semua hadits itu ditujukan untuk dijadikan sebagai syari’at (tasyri’) sehingga apa-apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah dalam segala kehidupannya merupakan suatu hal yang harus dikerjakan/ dicontoh. Sedangkan apa-apa yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah lebih khususnya dalam masalah agama, maka otomatis hal tersebut tidak boleh kita kerjakan.[44]

B. Konsep Bid'ah Dalam Pemikiran Sirajuddin Abbas
1. Definisi Bid'ah Menurut Sirajuddin Abbas
Dalam memberikan definisi bid'ah, Sirajuddin[45] sebagaimana Hasan memandangnya dari dua sisi, yaitu secara etimologis dan terminologis. Adapun secara lughat Sirajuddin mendefinisikan bid'ah sebagai berikut :
الأمْرُ الذي يَكُونُ أوَلا
“Suatu perkara yang muncul pertama kali atau yang pertama adanya”
إخْتَرَعَهُ وأنشَأهُ لا علي مِثالٍٍِِ
“Mengadakan atau menciptakan sesuatu tanpa didahului contoh sebelumnya”
ما أُحْدِثَ علي غَيْرِ مِثالٍ سابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa didahului contoh yang terdahulu”
Definisi-definisi di atas, dikutip oleh Sirajuddin dari kitab al-Muhith karangan Syirozi, al-Mu’tamad dan al-Munjid. Selain itu pula Sirajuddin melandaskan pendapatnya pada surat al-Baqarah ayat 117 dan al-Ahqaf ayat 9.
Sedangkan dalam mendefinisikan bid'ah secara syara’ atau terminologis, Sirajuddin mengutip beberapa pendapat ulama, yang kesemuanya menurut analisa penulis dari kalangan madzhab Syafi’i atau dengan kata lain mereka adalah kelompok Syafi’iyyah, yaitu sebagai berikut :
A. Syeikh Izzudin bin Abdus Salam dalam kitab Qowaid al-Ahkam
البدعة فعْلٌ ما لَمْ يُعْهَدْ في عَصْرِ رسولِ الله ص.
“Bid'ah adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw.”
B. As-Suyuthi dalam kitab Tanwirul Hawalik
أصْلُ البدعةِ ما أُحْدِثَ علي غير مِثالٍ سابٍقٍ وتُطلَقُ في الشَّرعِ علي ما يُقابِلُ السُنَةَ اي مالمْ يَكُنْ في عَهْدِهِ ص. ثمّ تَنقَسِمُ الي الأحكامِ الخَمسَةِ
“Bid'ah pada dasarnya adalah sesuatu perkara baru yang diadakan tanpa ada contohnya terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at bid'ah merupakan lawan daripada sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada masa Nabi Saw. Kemudian hukum bid'ah terbagi kepada hukum yang lima.[46]
Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa bid'ah merupakan suatu amalan agama (terpuji maupun tercela) yang belum ada atau tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw. tetapi diadakan dan dibuat sesudah Nabi Saw wafat.[47]
Termasuk dalam definisi di atas, misalnya mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an dalam satu mushaf, membukukan hadits-hadits Nabi, merayakan isra’mi’raj, naik haji dengan memakai mobil, pesawat udara, dan lain sebagainya. Semua perbuatan tersebut termasuk dalam kategori bid'ah sebab kesemuanya itu belum pernah ada dan belum dikenal pada masa Rasulullah Saw.
Begitu juga dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang jelek dari segi keagamaan, seperti mencampur adukan pelajaran-pelajaran keagamaan dengan filsafat Yunani, filsafat Plato dan Aristoteles, memainkan musik dan seruling di dalam masjid ketika merayakan maulid Nabi dan isra’ mi’raj, masuk dan keluar puasa tidak berdasarkan ru’yah, sholat jum’at dirumah dan lain-lain. Semua perbuatan di atas termasuk juga dalam kategori bid'ah, karena kesemuanya belum ada dan belum dikenal pada masa Nabi Saw.[48]
Dari definisi-definisi yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa bid'ah menurut Sirajuddin Abbas tidak hanya melingkupi permasalahan-permasalahan ibadat saja melainkan permasalahan adatpun (yang belum dikenal pada masa Nabi Saw) tercover di dalamnya.
2. Pembagian Bid'ah menurut Sirajuddin Abbas
Di bab sebelumnya, penulis telah bahas bahwa dalam menyikapi pembagian bid'ah, kontraversialitas ulama tidak bisa dihindarkan, sebagian dari mereka setuju dengan adanya pembagian bid'ah, namun sebagian yang lain justru sebaliknya yakni menolak model pembagian bid'ah tersebut.
Sirajuddin Abbas merupakan salah satu ulama yang setuju dengan adanya pembagian bid'ah, pendapat Sirajuddin ini, menurut penulis sangat probabel atau logis sebab definisi bid'ah yang dikemukakan olehnya masih sangat umum, justru kalau dalam menyikapi bid'ah ini beliau setuju dengan tidak membaginya, maka akan sangat rancu. Hal demikian dapat kita lihat dari kata-kata, “Bid'ah merupakan suatu perbuatan (keagamaan) yang tidak dikenal (belum ada) pada masa Rasulullah Saw.”
Definisi di atas dapat dipahami bahwa segala perbuatan, baik itu terpuji maupun tercela yang pada masa Rasul belum ada, maka terkategorikan dalam konteks bid'ah. Jika pemahaman bid'ah “semuanya sesat” maka ini akan sangat berbahaya, sebab perbuatan para sahabat yang nyata-nyata Rasul sendiri memerintahkan untuk mengikutinya dengan sendirinya akan terkategorikan dholalah.
Dalam membagi bid'ah Sirajuddin[49] mengutip pendapat asy-Syafi’i yang diriwayatkan Abu Nu’aim yaitu :
البِدعةُ بدعتان مَحْمُوْدَةٌ وَمَذمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةََ فهو مَحْمُوْدٌ وَمَاخالَفهَا فهو مَذمُوْمٌ
“Bid'ah itu ada dua macam, yaitu bid'ah terpuji (hasanah) dan bid'ah tercela (sayyiah). Bid'ah terpuji ialah suatu perbuatan yang sesuai dengan sunnah Nabi sedangkan bid'ah tercela ialah suatu perbuatan yang bertentangan dengan sunnah Nabi Saw.”
Selain itu pula Sirajuddin mengutip pendapat asy-Syafi’i yang dikutip juga oleh Imam Baihaqi yaitu sebagai berikut :
المحدثات ضربان مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتابًا او سُنّةً او أثرًا او إجْماعًا فهذه بِدعَةُ الضَلالِ وَما أُحدِث مِنَ الخَيْرِ لايُخالِفُ شَيْئًا مِنْ ذلِك فهي مُحْدَثةٌ غيرُ مَذمُوْمَةٍ
“Pekerjaan yang baru itu ada dua macam :1. Pekerjaan (keagamaan) yang bertentangan dengan al-Qur'an, sunnah, atsar dan ijma’. Hal-hal demikian dinamakan bid'ah dholalah. 2. pekerjaan (keagamaan) yang baik serta tidak bertentangan dengan al-Qur'an, sunnah, atsar dan ijma’. Hal demikian disebut juga bid'ah tetapi tidak tercela.” [50]
3. Dasar Hukum Bid'ah menurut Sirajuddin Abbas
Pada dasarnya dalil-dalil yang digunakan baik itu oleh A.Hasan maupun Sirajuddin Abbas dalam menentukan konsep bid'ah itu ada kesamaan bahkan bisa dikatakan sebagian besar sama, namun letak perbedaan pendapat diantara keduanya lebih dominan terletak pada bagaimana mereka memahami dalil-dalil tersebut. Dengan kata lain istimbat al ahkam mereka-lah yang membuat keduanya berbeda dalam menentukan konsep bid'ah.
Adapun dalil-dalil yang digunakan oleh Sirajuddin Abbas bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu dari al-Qur'an dan hadits.
1. Dalil-dalil al-Qur'an :
Dalam menggunakan dalil al-Qur'an sebagai dasar pendapatnya, antara Sirajuddin Abbas dan Ahmad Hasan ada kesamaan, yaitu mengambil surat al-Baqarah ayat 117 dan surat al-Ahqaf ayat 9.
2. Dalil-Dalil Hadits Nabi Saw
A. Hadits Riwayat Muslim
حدثنا إسحق بن إبراهيم و عبدُ بنُ حُمَيدٍ جميعا عن أبي عامِرٍ قال عبدٌ حدثنا عبدُ الملِكِ بنُ عَمرٍ و حدثنا عبدُ الله بنُ جعفرٍ الزهريِّ عن سعدٍ إبن إبراهيمَ قال سألتُ القاسمَ بنَ محمدٍ عن رجلٍ له ثلاثةُ مساكنَ فأوصَى بِثلوثِ كلِّ مسكنٍ مِنها قال يُجمَع ذلك في مَسكَنٍ واحدٍ قال أخبَرَتنِي عائشة رضي الله عنها أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم قال: ” مَن عَمِلَ عَمَلا لَيسَ عليه أمرُنا فهو رَدٌّ "
“Dari Said bin Ibrahim berkata, saya bertanya kepada Qosim bin Muhammad tentang seorang laki-laki yang mempunyai tiga rumah, lalu dia berwasiat dengan 1/3 (sepertiga) dari tiap-tiap rumah. Said berkata bagian-bagian tersebut dikumpulkan menjadi satu rumah lalu A’isyah mengabarkan kepadaku bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan amal ibadah yang tidak kami perintahkan, maka amalnya itu ditolak.” [51]
B. Hadits Riwayat Muslim
حدثني زهير بن حرب حدثنا جرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن موسى بن عبد الله بن يزيد وأبي الضحى عن عبدالرحمن بن هلال العبسي عن جرير بن عبد الله قال جاء ناس من الأعراب الى رسول الله ص. عليهم الصُرفُ فرأى سوء حالهم قد أصابتهم حاجة فحث الناس على الصدقة فأبطؤا عنه حتى رُئيَ ذلك فى وجهه قال ثم إن رجلا من الأنصار جاء بصرة من وَرِقٍ ثم جاء أخرُ ثم تتابعوا حتى عُرِفَ السُرورُ فى وجهه فقال رسول الله ص. من سن فى الاسلام سنة حسنة فعُمِلَ بها بعده كُتِبَ له مثل اجر من عمل بها ولا ينقص من اجورهم شيئ ومن سن فى الاسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وِزرِ من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيئ
“Dari Jarir bin Abdillah berkata, telah datang sekelompok orang Badui yang sedang menanggung suatu tebusan, kepada Rasul sehingga terlihatlah jeleknya kondisi mereka yang sedang membutuhkan bantuan, lalu Rasulullah menganjurkan kepada orang-orang untuk bersodaqoh (membantunya) tetapi orang-orang tersebut tidak menghiraukannya sehingga hal itu terlihat dihadapan Rasul, kemudian Jarir berkata sesungguhnya telah datang seorang Anshor dengan membawa segepok uang kertas, lalu datang orang yang lainnya dan mengikutinya sehingga terlihatlah kegembiraan diwajah Rasul, kemudian Rasul bersabda, “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunah yang baik) dan sunah tersebut diamalkan oleh orang sesudahnya, maka kepadanya diberikan pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya kemudian, dengan tidak mengurangi sedkitpun juga pahala orang yang mengerjakan kemudian itu, dan barang siapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyi’ah (contoh yang jelek) dan sunah tersebut diamalkan oleh orang sesudahnya, maka kepadanya diberikan dosa seperti dosa orang yang mengerjakannya kemudian, dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” [52]
C. Hadits Riwayat Bukhari
عن عبد الرحمن ابن عبد القاري أنه قال خرجتُ مع عُمَرْ ابن الخَطّابِ رضي الله عنه لَيلةً في رمضان الي المسجدِ فإذا الناسُ أوزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصلّي الرجلُ لنفسِهِ و يُصلّي الرجلُ فَيُصلّي بِصلاتِه الرَّهْطُ فقال عمر إنِّي أرَى لَوْجَمَعْتُ هَؤُلاءِ على قارِءٍ واحدٍ لكانَ أمثلَ ثمّ عَزَمَ فجَمَعَهُمْ على اُبَي بنِ كَعْبٍ ثمّ خرجتُ معه ليلةً اُخرَى والناسُ يُصَلّون بصلاةِ قارئِهِم قال عمر نِعْمَةُ البدعةُ هَذِهِ
Dari Abdurrahman bin Abdul Qaray berkata, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar bersama Umar bin Khatab ra.ke masjid Madinah. Di dalam masjid tersebut dijumpai orang-orang sedang melakukan shalat tarawih dengan bercerai berai (berbeda-beda), ada yang shalat sendiri-sendiri, ada pula yang shalat berjama’ah dengan beberapa orang, maka Umar ra. berkata, “saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Jika disatukan dengan seorang imam, sesungguhnya akan lebih baik, serupa dengan shalatnya Rasulullah Saw.” Kemudian beliau menyatukan orang-orang itu shalat di belakang seorang imam, namanya Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada suatu malam yang lain kami datang lagi, lalu kami melihat orang-orang sedang sholat tarawih dengan berjama’ah dipimpin oleh seorang imam. Umar bin Khatab ra berkata, “Ini adalah bid'ah yang baik.” [53]
4. Metode Istimbath Al-Ahkam yang digunakan Sirajuddin Abbas
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwasanya dalam mengemukakan konsep bid'ah, Sirajuddin Abbas merujuknya kepada pendapat Imam Syafi’i. Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode istimbath al ahkam yang digunakan pun merujuk pula ke metode istimbat al ahkam yang digunakan As-Syafi’i. Di bawah ini akan penulis jelaskan (walaupun hanya secara makro) tentang dasar hukum dan metode istimbat al ahkam yang digunakan oleh As-Syafi’i.
Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum berdasarkan kepada al-Qur'an, Hadits, ijma’ dan qiyas. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkannya dalam kitab ar-risalah sebagai berikut :
ليسَ لأحدٍ أن يقولَ أبداً في شيئِ حَلَّ او حَرّمَ إلا مِنْ جِهَةِ العِلمِ و جِهَةِ الخَبَرِ في الكتابِ و السُّنةِ والإجماعِ والقياسِ
“Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah kitab suci al-Qur'an, sunnah, ijma; dan qiyas.”
Al-Qur'an dan hadits ditempatkan pada martabat pertama. Al-Hadits ditempatkan pada tempatnya al-Qur'an alasannya karena sunnah itu menjelaskan al-Qur'an, ecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur'an dan hadits mutawatir. Di samping itu juga karena al-Qur'an dan as-Sunnah pada dasarnya sama-sama merupakan wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur'an.[54]
Ijma’ adalah masalah-masalah yang tidak diperoleh dalam al-Qur'an dan hadits, ditempatkan pada martabat kedua. Namun ijma’ yang dikehendaki ialah jma’ yang memiliki khasas. Sedangkan pendapat sahabat ditempatkan pada tempat setelah tempat al-Qur'an, al-Hadits dan ijma’. Sementara qiyas sendiri ditempatkan pada tempat terakhir setelah al-Qur'an, al-Hadits, ijma’dan pendapat sahabat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, dasar-dasar istimbat al ahkam Imam Syafi’i adalah al-Qur'an, al-Hadits, ijma’, atsar dan qiyas, kemudian jika tidak ditemukan pada ijma’ dan qiyas beliau menggunakan jalan istidlal (memberi alasan berdasarkan atas kaidah-kaidah agama).
Itulah kiranya dasar-dasar hukum yang dipegang oleh Sirajuddin Abbas karena beliau sebagai ulama bermadzhab Syafi’i. Sedangkan dalam menentukan konsep bid'ah, Sirajuddin Abbas menggunakan metode istidlal (langsung mengambil dari dalil-dalil yang ada baik secara langsung maupun tidak).
Dalam memahami dalil-dalil yang ada (terutama dari hadits), Sirajuddin Abbas berpendapat bahwa hadits :
...أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدى محمد و شر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
Dan hadits
...فقال أصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى إختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلافاء الراشدين المهديين فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحد ثات الأمور فإن كل محد ثة بدعة وإن كل بدعة ضلالة
Itu masih bersifat umum, atau dengan kata lain kedua hadits di atas telah ditakhsis oleh keberadaan hadits lain.[55]
Adapun hadits yang mentakhsisnya adalah sebagai berikut :
...فقال رسول الله ص. من سن فى الاسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل اجر من عمل بها ولا ينقص من اجورهم شيئ ومن سن فى الاسلام سنة شيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من اوزارهم شيئ
Hadits di atas, memberikan pemahaman bahwasanya setiap orang muslim dibolehkan dan bahkan dianjurkan supaya mengadakan sunnah hasanah (sunah yang baik), dan dilarang keras mengadakan sunah sayyi’ah (sunah yang buruk)[56].
Selain hadits di atas, Sirajuddin Abbas pun mengemukakan sebuah hadits yang menyatakan perkataan Umar Ibnul Khatab ketika memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan sholat taraweh secara berjama’ah yaitu : “ni’matul bid'atu hadihi.”
Sholat taraweh berjama’ah secara terus menerus dalam bulan Ramadhan termasuk dalam kategori perbuatan bid'ah, karena perbuatan tersebut tidak dikenal pada masa Nabi. Namun menurut Umar perbuatan bid'ah tersebut merupakan bid'ah yang baik (hasanah). Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tidak semua bid'ah itu jelek (tercela) namun ada juga bid'ah yang baik (hasanah).[57]
Alasan kedua yaitu, Ibnu Hazm[58] dalam memahami lafadz (baik dari al-Qur'an maupun hadits) membaginya menjadi tiga macam yakni pertama, memakai lafadz yang khusus dan tujuannya untuk makna yang khusus, kedua, memakai lafadz yang umum dan tujuannya untuk makna yang umum, ketiga, memakai lafadz yang umum namun ada pengecualian di dalamnya atau dengan kata lain lafadznya umum namun maksudnya adalah khusus. Berdasar pembagian lafadz seperti di atas, Sirajuddin berpendapat bahwa lafadz kullu dalam kalimat “kullu bid'atin dholalah” itu adalah lafadz yang ber shigat umum namun maksudnya adalah khusus, atau dengan kata lain merupakan lafadz aamum makhsus. Hal demikianpun dijelaskan pula oleh an-Nawawi ketika membahas “kullu muhdatsatin bid'atun”, yakni bahwasanya muhdatsat yang dimaksud adalah yang bathil dan bid'ah yang dimaksud adalah yang madzmumah. Jadi bid'ah yang dholalah itu adalah bid'ah madzmumah (sayyi’ah), bukan bid'ah mahmudah (hasanah).[59]
Alasan yang ketiga ialah, dalam memahami pembagian hadits Sirajuddin sependapat dengan ad-Dahlawi, yakni hadits itu terbagi dua, yaitu: tasyri’ dan irsyad (fenomenal). Sehingga, untuk hal-hal yang sifatnya tekhnis dan tidak ditetapkan oleh Rasul maka keleluasaan bagi kita-lah untuk membuatnya. Satu contoh, membaca sholawat adalah tasyri’, namun bagaimana cara membacanya (apakah dengan berdiri ataupun duduk) adalah irsyad, hingga kita bebas melakukannya sesuai dengan kondisi yang pas.[60]
C. Persamaan Konsep bid'ah menurut A.Hasan dan Sirajuddin Abbas
Di atas telah penulis paparkan konsep bid'ah yang di ajukan baik itu oleh Ahmad Hasan maupun oleh Sirajuddin Abbas. Dari paparan tersebut terlihat bahwa untuk konteks A.Hasan, walaupun ketika dalam mengeluarkan produk hukum ia sering melontarkan bahwasanya pendapatnya tersebut tidak mengikut pada pendapat imam madzahib tetapi ternyata dalam konteks bid'ah A.Hasan tidak berijtihad dengan pendapatnya sendiri, melainkan mengutip pendapat as-Syatiby. Begitupun dengan ay-Syatibi sendiri. Walaupun tidak sepenuhnya mengutip pendapat Imam Malik, namun pokok pendapatnya berasal dari pendapat Imam Malik. Jadi dapat ditarik satu benang merah bahwasanya pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Hasan mengikut pada pendapat Imam Malik.
Sebagaimana Ahmad Hasan, Sirajuddin Abbas pun dalam mengemukakan konsep bid'ah, tidak berijtihad sendiri, namun mengikut pada pendapat ulama Syafi’i. Diantara pendapat yang dikutip olehnya adalah pendapat Ibnu Abdi Salam dan as-Suyuthi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam menggulirkan konsep bid'ah, Sirajuddin Abbas mengikut pada pendapat as-Syafi’i.
Terlepas dari pendapat siapa yang diikuti, baik itu oleh Ahmad Hasan maupun Sirajuddin Abbas, juga terlepas dari berbedanya definisi yang dikemukakan oleh keduanya, walaupun secara sekilas sangat nampak sekali pertentangan pendapat di antara keduanya, namun disini ada beberapa persamaan pendapat yang dapat penulis garis bawahi.
Adapun persamaan-persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Segala yang diada-adakan sesudah Nabi Saw, yang tidak berdasar (berdalil) dari agama dan tidak termasuk ke dalam kaidah agama termasuk dalam kategori bid'ah tercela.
2. Orang yang mengerjakan perbuatan yang termasuk dalam kategori bid'ah sayyi’ah (tercela) akan mendapatkan dosa dari Allah Swt.
3. Semua yang termasuk ke dalam bid'ah sayyi’ah adalah sesat.
4. Ayat al-Qur'an yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat al-Baqarah ayat 117 dan al-Ahqaf ayat 9.
D. Perbedaan Konsep bid'ah menurut A.Hasan dan Sirajuddin Abbas
Dalam suatu persoalan apapun, jika kita jumpai ada titik persamaan mesti di situ pula akan ada titik perbedaanya. Begitupun dalam masalah bid'ah yang dikemukakan oleh A.Hasan dan Sirajuddin Abbas. Dalam persoalan ini, perbedaan pendapat di antara keduanya sangat transparan. Namun walaupun begitu, demi memenuhi keilmiahan tulisan ini dan juga untuk lebih memperjelas pembahasan, penulis akan cantumkan titik-titik perbedaan pendapat antar keduanya.
Adapun perbedaan-perbedaan pendapat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Dalam mendefinisikan bid'ah secara syara’ A. Hasan berpendapat bahwasanya bid'ah merupakan satu cara atau ibadah yang diada-adakan oleh orang di dalam agama dengan maksud beribadat kepada Allah dengan perbuatan tersebut. Lebih lanjut A.Hasan berpendapat bahwasanya dalam bid'ah tidak ada pengklasifikasiannya, dengan kata lain bid'ah tidak terbagi pada hasanah dan sayyi’ah. Sedangkan menurut Sirajuddin Abbas bid'ah secara syara’ adalah merupakan suatu amalan agama (terpuji maupun tercela) yang belum ada atau tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw. tetapi diadakan dan dibuat sesudah Nabi Saw wafat. Bid'ah meliputi permasalahan ibadat dan adat, serta bid'ah terbagi pada hasanah dan sayyi’ah. Jika perbuatan tersebut sesuai dengan al-Qur'an, sunnah, atsar dan ijma’ maka dinamakan bid'ah hasanah sedangkan bila perbuatan tersebut bertentangan dengan al-Qur'an, sunnah, atsar dan ijma’ maka dinamakan bid'ah dholalah .
2. Dalam beristimbath al-ahkam, Ahmad Hasan memahami hadits “Kullu bid'atin dholalah” mengandung makna umum sehingga beliau berpendapat bahwa semua bid'ah itu sesat, sedangkan Sirajuddin Abbas memahami bahwa hadits tersebut bermakna “aamum makhsus” atau dengan kata lain lafadz “kullu” dalam hadits tersebut bermakna “sebagian” jadi tidak semuanya bid'ah itu sesat tetapi ada sebagian bid'ah lain yang terpuji.
3. Dalam memahami hadits “man sanna fiil islami sunnatan hasanatan….dst” Ahmad Hasan berpendapat bahwa hadits tersebut menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat keduniaan (adat) sedangkan Sirajuddin Abbas memahami bahwa hadits tersebut sebagai pentakhsis dari hadits “kullu bid'atin dholalah.”
4. Dalam memahami pembagian hadits, A.Hasan berpendapat bahwa pada dasarnya semuanya itu terbagi kepada tasyri’ atau dimaksudkan untuk dijadikan sebagai syariat (tasyri’), sementara Sirajuddin Abbas berpandangan bahwa hadits itu terbagi kepada tasyri’ dan irsyad (fenomenal) atau selain dimaksudkan sebagai syari’at, juga adakalanya hanya sebagai irsyad saja.
5. Konsep bid'ah yang dijadikan pegangan bagi Ahmad Hasan merujuk pada pendapatnya Imam Malik sedangkan konsep bid'ah yang dijadikan pegangan oleh Sirajuddin Abbas merujuk pada pendapat Imam Syafi’i.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Abdat, Risalah Bid’ah. Jakarta :Yayasan At-Tauhid, 2001
Afif Muhammad, Islam Madzhab Masa Depan. Bandung : Pustaka Hidayah, 1998
Ahmad Ibnu Hajar al-Bathamy, Tathir al-Jinan Wa al-Arkan, Saudi Arabia: Jamiyyah Ihyaa’i at-Turas al-Islami.
Ahmad Ibnu Hajar al-Asqolany, Fathul Baari Syara’ Shohih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikri.
Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibnu Hambal (Juz IV), Beirut Libanon: Dar al-Fikri.
Ahmad Hasan, Soal Jawab. Jakarta: Raja Grafindo Persada.1975
Ahmad Musthafa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy Juz XI. Beirut Libanon: Darul Fikri.
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif,1997
Al-Jizani, Muhammad bin Husain, Kaidah Memahami bid'ah, Jakarta: Pustaka Azam, 2001
Al-Atsari, Ali Hasan al-Halabi, Membedah Akar Bid’ah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000
Ali Mahfudh, al-Ibda’ fii Madharil Ibtida’. Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi.
An-Nawawi, Shohih Muslim Syara’ an-Nawawi (Juz VI, XI, XV). Beirut: Darul Fikri, 1981
As-Segaf, Alwi bin Abdul Qadir, Meluruskan Tafsir Bid'ah. Surabaya: Pustaka as-Sunnah, 2003
As-Shidiqie, Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997
______________, Kriteria Sunnah Dan Bid'ah, Semarang: Pustaka Rizki, 1999
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Tanwiirul Hawalik Syara’ al-Muwatha (Juz I dan II). Beirut: Dar al-Fikri.
Asy-Syatiby, Abi Ishak Ibrahim, I’tisham (Juz I). Mesir: Riyadh al-Haditsah.
Attabik Ali Ahmad Zuhdi muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998
Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia. Jakarta: Gema insani press, 1994
Chuzaemah T. Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarata: Logos,1997
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta.1995
Hamud al-Mathar, Amalan Bid'ah Yang Sering Terjadi, Bandung: Pustaka ash-Sarqiyah.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz I. Semarang: Toha Putra, 1983
Isma’il Haqqy, Tafsir Ruhul Bayan Juz VII. Beirut: Darul Fikri.
Jamaluddin Al-Qosimi, Tafsir Mahasin At-Ta’wil Juz XIII. Beirut: Darul Ihya.
______________, Qowaid at-Tahdits Beirut: Dar al-Fikri.
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan Madzhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1956
____________, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah, 2000
____________, Kumpulan Soal Jawab Keagamaan, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2003
Sukarnawadi Husnudu’at, Meluruskan Bid’ah. Surabaya: Dunia Ilmu, 1996
Team Balagh, Bid’ah dalam Kacamata al-Qur'an dan as-Sunah Jakarta: al-Huda, 2002.






[1] Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2002), h. 146.
[2] Hasbi ash-Shidiqie, Kriteria sunah dan Bid’ah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra), 1998. h. ix.
[3] Ibid, h. 13.
[4] A. Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,.1997), h. 65.
[5] Team Balagh, Bid’ah dalam Kacamata al-Qur'an dan as-Sunah, (Jakarta: al-Huda, 2002), h. 8-9.
[6] Ali Mahfudh, al-Ibda’ Fii Madharil Ibtida’ (Mesir: Dar al-Kitab., 1956), h. 26.
[7] Hasbie ash-Shidiqie, Kriteria Sunnah dan Bid’ah… h. 35.
[8] al-Atsari Ali Hasan, Membedah Akar Bid’ah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 7.
[9] Rahmat Taufiq, Kazanah Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 37.
[10] Ibnu Hajar, Tathir al-Jinan wa al-Arkan, (Beirut: Dar al-fikri, Beirut, tt), h. 42.
[11] Hamud al-Mathar, Amalan Bid’ah Yang Sering Terjadi, (Bandung: Pustaka asy-Syarqiyah, tt), h. 1
[12] Abdul Aziz at-Tuwaijiry, al-Bida’ al-Hauliyyah, (Riyad: Dar al-Fadhilah, 2000), h. 1-2
[13] Sukarnawadi Husnudu’at, Meluruskan Bid’ah, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1996), h. 14.
[14] .Hasbie ash-Shidiqie, Kriteria Sunnah dan Bid'ah… h. 36-37
[15] Ali Mahfudh, al-Ibda' Fii Madhari al-Ibtida… h. 26
[16] Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, 1994), h. 30.
[17] Team Balagh, Bid'ah dalam Kacamata al-Qur'an dan as-Sunnah… h. 10-12.
[18] Ibnu Hazar al-Asqolani, Fat al-Barri Syara’ Shohih Bukhari, (Libanon: Dar al-Fikri, tt), h. 58.
[19] Abi Ishak Ibrahim asy-Syatiby, al-I’tisham, Juz I, (Mesir: Riyad al-Haditsah, tt), h. 37.
[20] Muhammad bin Husein al-Jizani, Kaidah Memahami Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Azam, 1998), h. 21
[21] Ibid, h. 26.
[22] Team Balagh, Bid'ah dalam Kacamata al-Qur'an dan as-Sunnah…h. 47-48.
[23] Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia… h. 31.
[24] Ibid, h. 33.
[25] Hasbie ash-Shidiqie, Kriteria Sunnah dan Bid'ah…h. 43-50.
[26] Sukarnawadi Husnudu’at, Meluruskan Bid’ah… h. 20.
[27] Abdul Aziz at-Tuwaijiry, al-bida’ al-hauliyyah…, h. 5.
[28] Ahmad Hasan, Soal Jawab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 654.
[29] Ibid, h. 656.
[30] Ibid, h. 657.
[31] Ibid, h. 659.
[32] Ibid, h. 660.
[33] An-Nawawi XV, Shohih Muslim Syara’ an-Nawawi…, h. 226.
[34] Ibid, h. 118.
[35] Depag, al-Qur’an dan terjemahannya… h. 31.
[36] Ibid, h. 823
[37] an-Nawawi, Shohih Muslim Syara’ an-Nawawi Juz XI…, h. 16.
[38] an-Nawawi, Shohih Muslim Syara’ an-Nawawi Juz VI…, h. 154.
[39] Abu Dawud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), h. 201.
[40] Hasbie as-Shidiqie, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h.182.
[41] Ibid, h. 185.
[42] asy-Syatiby , al-I’tisham Juz I… h. 141.
[43] Ahmad Hasan, Soal Jawab… h. 661.
[44] Jamaluddin al-Qosimiy, Tafsir Mahasin at-Ta’wil XIII, (Beirut: Dar al-Ihya, tt), h.18.
[45] Sirajuddin Abbas, Soal Jawab 40 Masalah Agama… h. 154.
[46] Jalaluddin as-Suyuthi, Tanwirul hawalik Syara’ al-Muwatha’ I, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), h.137.
[47] Sirajuddin Abbas, Soal Jawab 40 Masalah Agama… h. 194.
[48] Ibid, h. 156
[49] Ibid, h. 157.
[50] Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Baari Syara’ Shohih Bukhari Juz XVII… h. 10.
[51] An-Nawawi, Sohih Muslim Syara’ an-Nawawi Juz XI… h. 16.
[52] An-Nawawi, Sohih Muslim Syara’ an-Nawawi Juz XV… h. 226.
[53] Bukhari, Shohih Bukhari Juz I… h. 242.
[54] Chuzaemah T. Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997), h.126
[55] An-Nawawi Sohih Muslim Syara’ an-Nawawi Juz VII… h. 104.
[56] Sirajuddin Abbas, Tanya Jawab Empat Puluh Masalah Agama…h. 159.
[57] Ibid, h. 161.
[58] Ibnu Hazm, al-Ihkam Fii Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub, tt), h.388-389.
[59] Sukarnawadi Husnudu’at, Meluruskan Bid’ah…h. 16.
[60] Jamaluddin al-Qosimiy, Qowaiduts at-Tahdits, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), h.18

1 komentar:

Yusuf mengatakan...

oawalah hanya memperkeruh suasana saja...
lebih baik anda teliti lagi tentang ilmu tasyri nya dari para mujtahid.
lalu anda meneliti kebenaran mereka lalu sesuaikan dengan ilmu hadits dan Quran lalu lalu haditsnya diteliti satu persatu dan juga ayat-ayat quran nya diteliti juga satu persatu.
apalagi ilmu ushul fiqih nya..jgn dilewatkan mengkaji ilmu ushul dan mushtholahul Hadits nya..
syukron