Jumat, 23 Mei 2008

SISTEMATIKA DALIL DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM

Abdullah Syafe’i

Abstract
The necessary of ijtihad is required to be on going continuity. It is stated that society as an object is always changeable, and also the changing of developing technology, social interaction, etc. Thus, the area of ijtihad has been more complex than before. Ijtihad is very important to be done by Muslim today, because it is a comprehensive method to solve a particular issues that are found in modern Muslim life. Even Islamic law was developed by Fiqh School (Madzhab) in the past, but it needs to be reformed today. The article clarify that new approaches and methodologies from the other traditions are also part of new spirit of ijtihad in Islamic legal thought

Keywords: ijtihad, kehidupan masyarakat, kaidah ushuliyyah, perkembangan tekhnologi.

A. Pendahuluan
Secara khusus dapat dikatakan bahwa materi-materi yang dibahas dalam disiplin ilmu ushul fikih adalah hal-hal yang berhubungan dengan tata cara atau metode-metode istinbath (penetapan) hukum Islam yang harus dikuasai oleh para mujtahid dengan bersandarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan secara umum, obyek yang dikaji dalam ushul fikih meliputi empat pembahasan pokok, yaitu:
1. Pembahasan mengenai kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengistinbathkan hukum syara’. Kaidah dimaksud adalah kaidah-kaidah ushuliyah al-lughawiyah dan kaidah-kaidah ushuliyah al-tasyri’iyah.
2. Pembahasan mengenai berbagai materi yang dipergunakan dan berhubungan dengan metodologi istinbath hukum. Materi dimaksud berupa uraian mengenai hukum syara’, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih.
3. Pembahasan mengenai tata cara dan langkah-langkah istinbath hukum dari dalil-dalilnya. Termasuk dalam pembahasan ini adalah materi tentang ijtihad dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
4. Pembahasan mengenai sumber hukum, dalil hukum dan permasalahan yang berhubungan dengannya.
Obyek pembahasan ushul fikih di atas dibahas oleh para ulama ushul dengan sistematika yang berbeda-beda, sesuai dengan fokus perhatian individu masing-masing. Oleh karenanya, ada ulama yang membahasnya dalam satu jilid buku saja, seperti yang dilakukan oleh Abdul Wahab Khallaf dan M. Abu Zahrah, ada juga yang membahasnya dalam bentuk berjilid-jilid.
Ada ulama yang mengawali pembahasannya dengan hukum syara’, ada juga yang mengawali uraiannya dengan dalil-dalil syara’ sebagaimana yang dilakukan oleh Ali Hasaballah dalam Ushul al-Tasyri’ al-Islamy.
Bagi penulis, cenderung sependapat dengan para penulis yang mengedepankan pembahasan dalil dari pada pembahasan yang lainnya, karena jika merujuk pada substansi kajian ushul fikih, maka sebenarnya ia adalah mengkaji dasar-dasar dan dalil-dalil fikih (hukum Islam) secara umum. Dengan memahami berbagai dalil hukum syara’ ini, para mujtahid akan lebih mudah dalam menetapkan dan menganalogikan materi hukum syara’ sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan (syarat-syarat menggunakan dalil-dalil tersebut).
Dalil menurut bahasa berarti menunjukkan dan menuntun;[1] atau sesuatu yang menunjukkan kepada hal-hal yang dapat ditangkap secara inderawi atau maknawi kepada yang baik dan yang buruk.[2]
Menurut Istilah dalam ushul fikih, dalil adalah sesuatu yang dengan penelitian yang benar dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis baik dengan jalan qath’iy (pasti) maupun dengan jalan yang dhanniy (dugaan kuat).
Ada sebagian ulama yang mengartikan dalil dengan sesuatu yang diambil dari padanya hukum syara’ yang bersifat praktis dengan jalan qath’i saja. Sedangkan petunjuk yang bersifat dhanni dinamakan amarah (tanda), bukan dalil. Meskipun demikian, menurut pendapat yang populer di kalangan ahli ushul, dalil adalah sesuatu yang diambil dari padanya hukum syara’ yang bersipat praktis baik dilakukan dengan cara qath’i maupun dhanni. Dalam ungkapan yang sederhana, ia merupakan petunjuk yang bersifat qath’i atau dhanni akan adanya hukum syara’.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa dalil hukum berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar pijakan yang digunakan oleh para mujtahid di dalam menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan akurat.
Dalam proses penetapan hukum syara’, penggunaan dalil sangat berperan. Karena di dalam menetapkan suatu hukum atas berbagai permasalahan yang dihadapi harus dilandaskan pada alasan atau suatu dalil tertentu. Ketepatan seorang mujtahid di dalam menggunakan suatu dalil dalam proses istinbath hukum akan melahirkan sebuah ketetapan hukum yang benar. Sebaliknya, jika seorang mujtahid kurang tepat dalam penggunaannya, maka akan melahirkan sebuah ketetapan hukum yang kurang valid.
Di dalam ushul fikih, dalil hukum sering pula disebut dengan istilah adillat al-ahkam (dalil-dalil hukum), ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum), mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum), adillat al-Syari’ah (dalil-dalil syari’at), asas al-tasyri’ (dasar-dasar penetapan hukum syara’), atau ushul al-syari’ah (pokok-pokok hukum syara’). Selain itu dikenal pula istilah mashadir al-syari’ah dan mashadir al-tasyri’ (sumber-sumber hukum syara’).
Dari istilah-istilah dalil di atas, yang mudah dipahami oleh kita adalah istilah adillat al-ahkam (dalil-dalil hukum). Sebab jika menggunakan istilah yang berhubungan dengan sumber hukum seperti mashadir al-ahkam, atau mashadir al-syari’ah, maka dalam pemahaman kita di Indonesia, semua dalil dapat berarti sumber hukum. Padahal sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalil, mengacu pada pengertian atas sesuatu yang dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk selanjutnya dapat dianggap sebagai dasar pijakan atau dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusuf Qardlawi, diketahui bahwa terjadinya berbagai penyimpangan dalam menetapkan suatu hukum salah satunya diakibatkan oleh penggunaan dalil yang bukan pada tempatnya. Jika pernyataan ini benar, maka dapat dipastikan terdapat beberapa ketetapan hukum yang landasan dalilnya tidak tepat. Konsekuensi dari langkah berpikir seperti ini adalah lahirnya produk hukum yang bisa saja menimbulkan “kontroversial” di tengah-tengah masyarakat.
Di sinilah letak pentingnya uraian mengenai sistematika penggunaan dalil dalam menetapkan hukum syara’.
B. Macam-Macam Dalil Hukum Syara’
Dilihat dari segi asalnya, dalil dibagi kepada dua bagian, pertama; dalil yang bersumber dari wahyu, dan kedua; dalil yang bersumber dari ra’yu (penalaran). Dalil yang bersumber dari wahyu berupa al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan yang bersumber dari ra’yu sangat beragam, di antaranya adalah ijma’, qiyas, istihsan, dan maslahat mursalah.
Dalil yang bersumber dari wahyu dikenal juga dengan istilah dalil manshush, yaitu dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat di dalam nash. Sedangkan dalil yang bersumber dari ra’yu dikenal dengan istilah dalil ghairu manshush, yakni dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan di dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kedua macam dalil tersebut pada prakteknya (ketika digunakan) saling berhubungan satu sama lain, karena dalam menggali suatu dalil yang bersumber dari wahyu, pada hakekatnya membutuhkan penalaran akal di dalamnya. Begitu juga sebaliknya, hasil penalaran akal tidak dianggap sebagai dalil syara’ kecuali bila disandarkan kepada wahyu.[3]
Mengenai pembahasan dalil syara’ ini, Hasbi al-Shiddieqy mengemukakan, bahwa dalil syara’ yang pernah digunakan oleh para ulama ushul jumlahnya mencapai 46 (empat puluh enam) macam dalil.[4] Dalil dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:
1. al-Qur’an
2. al-Sunnah
3. Ijma’ seluruh mujtahid
4. Ijma’ shahabat
5. Ijma’ ulama Madinah
6. Ijma’ ulama Kufah
7. Ijma’ Khulafa al-Rasyidin
8. Ijma’ al-Syaikhaini
9. Ijma’ al-Itrah
10. Fatwa khalafa al-arba’ah apabila mereka sepakat pendiriannya
11. Fatwa shahabi (madzhab shahabi)
12. Fatwa Shahabi yang menyalahi qiyas
13. Madzhab Kibari al-Tabi’in
14. Qiyas
15. Istidlal
16. Istishhab
17. Maslahat mursalah
18. Bara’ah al-Ashliyah
19. Saddu al-Dzara’i
20. Istihsan
21. ‘Adat
22. ‘Urf
23. Ta’amul
24. Istiqra’
25. Al-Taharri
26. Al-Ruju’ ila al-Manfa’ah wa al-Madlarrah
27. Al-Qaulu bi al-Nushush wa al-Ijma’ fi al-‘Ibadat wa al-Muqaddarati, wa al-Qaul bi I’tibari al-Mashalih fi al-Mu’amalat wa Baqi al-Ahkam
28. Taghyir al-Ahkam bi Taghayyuri al-Achwal wa al-Azman
29. Al-Akhdzu bi al-Akhaffi maa Qila
30. al-Ishmah
31. Syar’u man qablana
32. Al-‘Amal bi al-Dhahir aw al-Adhhar
33. Al-Akhdzu bi al-Ihthiyat
34. AL-Qur’ah
35. Al-‘Amal bi al-Ashli
36. Ma’qul al-Nash
37. Syahadat al-Qalbi
38. Tahkimu al-Hal
39. ‘Umum al-Balwa
40. Al-‘Amal bi Aqwa al-Shabahaini
41. Dalalat al-Iqtiran
42. Dalalat al-Ilhami
43. Ru’ya al-Nabiy saw
44. Al-Akhdzu bi aisari ma Qila
45. Al-Akhdzu bi Aktsari ma Qila
46. Faqdu al-Dalil ba’da al-fihshi.[5]
Semua dalil di atas oleh sebagian ulama dapat dikembalikan kepada empat dalil saja, yaitu:
1) Al-Kitab
2) Al-Sunnah
3) Ijma’
4) Al-Ra’yu
Secara umum dapat pula dikembalikan kepada tiga macam dalil, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, dan dalil ijtihadi.
Dalam prakteknya, dalil di atas tidak digunakan secara keseluruhan oleh para ulama ushul. Misalnya dalam madzhab Hanafi, dalil yang dijadikan pegangan dalam menginstinbathkan hukum hanya ada delapan, yaitu; Qur’an, Sunnah, atsar, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf. Madzhab Maliki dalam menetapkan suatu hukum berpegang pada dalil Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, perbuatan ahli Madinah, maslahat mursalah, istihsan, dzara’i, ‘urf, dan istishhab. Sedangkan pada kalangan al-Syafi’i, dalil yang digunakan pada umunya berupa Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.[6]
Dengan demikian, meskipun dalil-dalil hukum itu jumlahnya banyak, tetapi dalam penerapannya para ulama berpegang pada dalil-dalil yang diyakininya saja sebagai dalil hukum yang dianggapnya dapat dijadikan sebagai hujjah.
Dalil-dalil tersebut dilihat dari segi kualitasnya dapat dibagi kepada dua macam, yaitu dalil qath’i dan dalil dhanni. Dalil qath’i adalah dalil yang menunjukkan pada sesuatu yang jelas, tidak mungkin dita’wilkan dan dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil qath’i ialah ayat-ayat Qur’an yang dalalahnya sangat jelas dan hadits-hadits mutawatir. Sedangkan dalil dhanni berarti sebaliknya, ia menunjukkan sesuatu yang belum jelas, sehingga ada kemungkinan untuk dita’wilkan atau dipahami lain. Yang termasuk ke dalam dalil ini adalah selain dari kedua jenis dalil di atas.
Dengan demikian, istilah dalil qath’i dan dhanni berhubungan dengan nilai dan kualitas sesuatu dalil, hal-hal yang qath’i atau tegas tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dhanni baik dalam fungsinya maupun di dalam tempatnya. Mengenai kehujjahannya, dalil yang bernilai qath’i baik dari segi wurudnya maupun dari segi dalalahnya (penunjukannya) adalah dalil yang tertinggi nilainya dan merupakan pegangan yang mutlak untuk dijadikan dasar suatu hukum, ia juga bukan lapangan ijtihad. Sedangkan dalil yang dhanni merupakan lapangan ijtihad, dan hasil ijtihadnya pun bernilai dhanni pula.
Dilihat dari segi cakupan maknanya, dalil-dalil hukum syara’ dibagi kepada dalil kully dan dalil juz’iy. dalil kully adalah dalil yang maknanya mencakup keseluruhan dan bersifat umum, ia tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukallaf. Sedangkan dalil yang juz’iy ialah dalil yang menunjuk kepada suatu persoalan dan suatu hukum tertentu.[7]
Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah yang kully. Contoh dari ketiganya ialah:
1. Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:
هُوَالَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kata مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا (segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup semua yang ada di darat dan di laut.
Dari ayat ini diambil dasar kaidah:
الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.
2. Hadist Nabi yang berbunyi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).
Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.
3. Kaidah fikih yang berbunyi:
االمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:
يَآ أَبـُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan lafadz ‘am, dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘am dan khas, dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.
C. Tugas Mujtahid dalam Menetapkan Hukum
Proses penetapan hukum dalam Islam disebut dengan ijtihad. Secara lengkap al-Syaukani mengemukakan pengertian ijtihad sebagai berikut:
بَذْلُ الوُسْعِ فِى نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِىٍّ عَمَلِىٍّ بِطَرِيْقِ الاِ سْتِنْباَطِ
"Mengerahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat opersasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan).”
Secara rinci definisi di atas diuraikannya sebagai berikut:
a. Kata بَذْلُ الوُسْعِ (mencurahkan kemampuan), hal ini engecualikan huku-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan makna “pencurahan kemampuan” adalah sampai dirinya merasa tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.
b. حُكْمٌ شَرْعِىٌّ (hukum syara’) mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fikih.
c. Begitu juga mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah atau i’tiqadiyah, walaupun menurut ilmu kalam hal yang demikian itu disebut ijtihad.
d. Kata بِطَرِيْقِ الاِ سْتِنْباَطِ (dengan cara mengambil istinbath) mengecualikan pengambilan istinbath hukum dari nash yang dhahir atau penghafalan beberapa permasalahan, atau menanyakan pada seorang mufti ataupun dengan mencari hukum permasalahan dari buku-buku. karena yang demikian itu tidak termasuk dalam ijtihad menurut istilah meskipun termasuk ijtihad dari segi bahasa.[8]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan proses penggalian hukum Islam yang dilakukan oleh seorang fakih dengan suatu upaya yang bersifat maksimal yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian yang lebih sempit dan lebih spesifik daripada yang kemudian digunakan pada masa al-Syafi’i dan di masa sesudahnya. Istilah ini mengandung arti pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli. Sebagai contoh, ada satu riwayat mengenai Umar bin Khattab bahwa pada suatu hari pada bulan Ramadlan, ia mengumumkan tibanya saat berbuka ketika matahari tampaknya telah terbenam. Setelah beberapa saat, ia diberitahu orang bahwa matahari terlihat kembali di ufuk Barat (karena sebenarnya belum terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan: “Bukan soal yang gawat, kami sudah berijtihad (qad ijtahadna).[9]
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Orang yang dianggap sebagai mujtahid adalah orang yang sudah dianggap memiliki beberapa persyaratan dan keahlian sebagai berikut:
1. ilmu yang memungkinkannya mengetahui berbagai macam dalil dan syarat-syarat dalil yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
2. mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, sehingga memungkinkan bagi simujtahid untuk memahami dengan baik perkataan Arab dan cara-cara mereka menggunakan bahasanya. Dengan pengetahuan ini, diharapkan dapat diketahui; makna-makna lafadzdi dalam al-Qur’an atau Sunnah, seperti makna lafadz yang wadhih, dhahir, mujmal, haqiqat, majaz, dan sebagainya.
3. mengetahui nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga simujtahid dapat mengetahui mana ayat yang mahkum dalam arti masih diakui keberadaannya, dan mana ayat atau hadits yang sudah mansukh dalam arti sudah tidak efektif lagi.
4. mengetahui ilmu riwayat dan dapat memdekan mana yang shahih, mana yang hasan, dan mana yang dha’if.[10]
Mengenai persyaratan mujtahid ini, memang para ulama ushul memiliki kriteria yang berbeda-beda. Berbeda dengan uraian di atas, Yusuf Qardlawi mencatat sekitar delapan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Syarat-syarat dimaskud ialah:
1. mengetahui al-Qur’an.
2. mengetahui al-Sunnah.
3. mengetahui bahasa Arab.
4. mengetahui tempat-tempat ijma’.
5. mengetahui ilmu ushul fikih.
6. mengetahui maqashid al-syari’ah (maksud-maksud syari’at).
7. mengenal kondisi sosial dan problematika kemasyarakatan di sekitarnya.
8. memiliki sifat adil dan taqwa.[11]
Meskipun persyaratan mujtahid yang dikemukakan oleh para ulama ushul beragam, namun pada hakekatnya persyaratan tersebut merupakan sebuah upaya agar orang-orang yang berijtihad memiliki standar keilmuan tertentu. Di samping itu, tidak memberi peluang kepada orang yang tidak memiliki persyaratan di atas untuk melakukan ijtihad terhadap permasalahan yang belum ditetapkan hukumnya di dalam masyarakat.
Lebih lanjut Yusuf Qardlawi mengemukakan, bahwa syarat-syarat ijtihad di atas adalah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh siapa saja yang hendak mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam arti ijtihad dalam semua cabang fikih dan permasalahannya. Adapun seorang mujtahid yang berijtihad dalam beberapa masalah, menurut mayoritas ulama ia tidak diwajibkan untuk memiliki semua persyaratan tersebut karena ijtihad itu dapat dibagi ke dalam beberapa bagian.
Mengenai hal ini Qardlawi mengutif pernyataan al-Ghazali sebagai berikut:
“…terkumpulnya delapan macam pengetahuan ini hanya disyaratkan atas seorang mujtahid mutlak, yang memberi fatwa dalam berbagai cabang hukum. Menurut saya (al-Ghazali), ijtihad merupakan martabat yang bisa dibagi. Bahkan boleh dikatakan bahwa seorang alim itu mencapai derajat mujtahid di bidang sebagian hukum saja. Maka barang siapa yang mengetahui cara mencari dalil dan menggunakan qiyas, boleh baginya berfatwa dalam masalah-masalah qiyas, walaupun ia kurang menguasai ilmu hadits. Dan barang siapa membahas masalah-masalah musytarakah (salah satu jenis pembagian harta pusaka) cukuplah bila ia adalah seorang fakih dan mengetahui pokok-pokok ilmu faraidl dan pengertian-pengertiannya, walaupun dia belum mengerti hadits-hadits yang menjelaskan larangan minuman keras atau masalah nikah tanpa wali, karena ia tidak memerlukan hadits tersebut dan tidak ada hubungannya dengan masalah musytarakah tadi…..”.[12]
Predikat mujtahid memiliki empat tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid mutlak. Mereka adalah mujtahid yang membangun madzhab hukum tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, beserta orang-orang yang setaraf dengan para imam madzhab seperti Zaid bin Tsabit, Ja’far al-Shadiq, al-Tsauri,al-Auza’i,dan sebagainya.
2. Mujtahid fi al-madzhab (mujtahid madzhab). Mereka adalah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya akan tetapi bila terdapat sesuatu permasalahan yang tidak ditemukan dalam pendapat imamnya, mereka berijtihad menurut kaidah yang dipergunakan dalam madzhabnya, lalu mengeluarkan pendapatnya menurut cara-cara yang dipergunakannya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan, dan Zufar dalam madzhab Hanafi; al-Muzany dalam madzhab Syafi’i.
3. Mujtahid fi al-masa’il (mujtahid fatwa). Mereka adalah mujtahid yang mendalami madzhab imamnya dan mampu menentukan pendapat mana yang kuat dan mana yang lemah, serta mampu menetapkan cara berdalil yang kuat dan cara berdalil yang lemah yang dipergunakan para shahabat dan para imam madzhabnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Thahawi dalam madzhab Hanafi, al-Ghazali dalam madzhab Syafi’i, dan al-Khiraqi dalam madzhab Hanbali.
4. Mujtahid muqayyad atau ashhab al-Takhrij (Ahli takhrij). Mereka adalah orang-orang yang mengikatkan diri dengan pendapat-pendapat salaf dan mengikuti pendapat mereka. Hanya saja mereka mengetahui madarik al-ahkam dan memahami dalalah-dalalahnya. Mereka juga memiliki kemampuan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat-pendapat yang berbeda dalam suatu madzhab dan dapat membedakan riwayat yang kuat dari riwayat yang lemah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Karakhi dan al-Qaduri dalam madzhab Hanafi, al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i.
Kembali pada uraian di atas, ijtihad merupakan sebuah proses kerja yang dilakukan oleh seorang mujtahid dengan upaya yang maksimal dalam menemukan dan menetapkan hukum syar’i.
Dalam Istilah ushul fikih, hukum syar’i didefinisikan sebagai:
خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
“Firman Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa ketetapan”.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa Syari’ atau pembuat hukum adalah Allah, karena hukum Islam adalah peraturan-peraturan agama yang bersumber pada kewahyuan. Wahyu di sini ada yang redaksinya langsung dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, dan ada yang redaksinya disampaikan langsung oleh Nabi. Jenis wahyu pertama disebut dengan al-Qur’an, dan jenis wahyu yang kedua disebut dengan al-Sunnah.
Kedua wahyu tersebut selanjutnya dikenal secara familiar sebagai sumber hukum Islam. Keduanya mengandung makna sebagai tempat atau rujukan utama dan asal dari segala hukum Islam. Dalam hal ini, Ahmad Hasan menyatakan bahwa sumebr materi pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Otoritas keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan. Sementara itu, qiyas dan ijma’ sesungguhnya adalah alat atau jalan untuk menetapkan suatu hukum mengenai masalah-masalah baru di mana tidak ada bimbingan atau petunjuk langsung dari Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikannya.[13] Oleh karenanya, qiyas dan ijma’tidak dipandang sebagai sumber hukum, ia lebih tepat disebut dengan dalil hukum. Kebenaran dalil-dalil ini akan ditentukan oleh sejauh mana kedua dalil ini sesuai dengan ruh dan syari’at yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah.
Berkenaan dengan Syari’ atau pembuat hukum, para ulama sepakat bahwa hak untuk menentukan hukum syar’i adalah hak mutlak Allah. Hukum yang dibuat-Nya disampaikan kepada manusia melalui wahyu, baik secara langsung melalui perantaraan malaikat maupun secara tidak langsung, yakni disampaikan melalui “kebijakan” Nabi. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk menciptakan hukum syar’i berdasarkan pada keinginan dan pertimbangan kemanusiaannya semata.
Tugas manusia dalam kaitannya dengan hukum syar’i, secara teknis terbatas pada penafsiran terhadap kehendak Tuhan dalam menentukan hukum-hukumnya. Secara rinci tugas manusia (yang lebih kompeten; para mujtahid) dalam kerangka istinbath hukum adalah:
1. menerangkan wahyu Allah baik berupa al-Qur’an maupun al-Sunnah apabila dirasakan tidak cukup jelas, sehingga dapat diketahui apa isi perintahnya atau apa norma-norma yang terkandung di dalamnya.
2. memperluas hukum atau norma yang ada, sehingga dapat diterapkan pada berbagai perbuatan atau masalah sejenis yang tidak ditemukan aturannya (tidak di atur secara rinci dalam al-Qur’an dan Sunnah).[14]
Dari uraian di atas kiranya perlu dipahami bahwa tugas para mujtahid dalam menetapkan hukum Islam secara substantif adalah menerangkan wahyu Allah yang dianggap belum jelas isi dan kandungan perintahnya, dan memperluas hukum syara’ atas semua peristiwa atau masalah sejenis yang tidak diatur secara jelas di dalam wahyu-Nya. Kata memperluas hukum di sini dapat dilakukan dengan melalui analogi dan semisalnya.
Dengan demikian tugas mujtahid dapat diarahkan pada dua hal, yaitu menafsirkan ayat-ayat hukum yang belum diketahui dengan pasti ketetapan hukumnya, dan menerapkan hukum yang telah ada serta menjadikannya sebagai sandaran di dalam menetapkan hukum atas permasalahan yang baru di mana ketetapan hukumnya belum diketahui.
Oleh karena itu masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum syara’ yang tidak ada padanya dalil qath’i (dalil yang sudah jelas maknanya). Dalam kalimat lain, lapangan ijtihad adalah masalah-masalah hukum yang dalil-dalilnya bersifat dhanni, terutama masalah-masalah furu’ (cabang) yang bersifat praktis.
Dalam hal ini ijtihad tidak terbatas pada ruang lingkup masalah yang baru saja, tetapi ia memiliki kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan kembali masalah-masalah yang ada di dalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada masa sekarang dan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan yang paling cocok, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syari’at dan kemaslahatan manusia. Sesuai dengan kaidah fiqih bahwa, “perubahan fatwa itu disebabkan karena perubahannya zaman, tempat dan keadaan”.
Dalam kaitannya dengan ruang lingkup ijtihad di atas, maka tugas mujtahid sekarang diarahkan pada dua hal, yang pertama; tugas yang berhubungan dengan masa lalu yakni dengan melakukan upaya-upaya peninjauan kembali atas masalah-masalah yang sudah dibahas oleh para mujtahid sebelumnya kemudian disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa kini; serta melakukan upaya-upaya tarjih (mencari pendapat yang terkuat) dan pendapat yang dianggap sesuai dengan kondisi sekarang yang didasarkan pada maqashid al-syari’ah dan kemashlahatan umum. Yang kedua; tugas yang berhubungan dengan masa kini, yakni menemukan dan menetapkan hukum serta menerapkannya pada masalah-masalah baru yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf.
Itulah sebabnya (barangkali), kenapa mujtahid jika ketetapannya salah dia masih mendapatkan pahala. Setidaknya ada dua alasan; pertama: masalah yang diijtihadi adalah masalah-masalah dhanni, dan kedua: ia diberi pahala karena pengabdiannya atas usahanya itu secara maksimal, akan tetapi ia tidak mencapai kebenaran itu lantaran kurangnya bukti-bukti dan dalil-dalil atau minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh mujtahid yang bersangkutan tentang permasalahan yang dibahasnya.
C. Langkah-langkah Penetapan Hukum Islam
Di dalam perkembangan sejarahnya, para mujtahid dalam melaksanakan tugasnya sebagai “penafsir” wahyu Allah telah menyusun seperangkat pola dan metode penetapan hukum syara’. Salah satunya adalah metode penetapan dalil-dalil hukum syara’.
Secara umum metode penetapan dalil-dalil hukum syara’ ini diketahui dari dialog Nabi dengan Mu’adz bin Jabal ketika ia dikirim ke Yaman sebagai qadli. Secara lengkap dialog tersebut diriwayatkan oleh al-Baghawi sebagai berikut:
“Dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah ketika mengutusnya ke Yaman bersabda: “bagaiman engkau menghukum jika engkau berkewajiban memberi hukum? jawab Mu’adz: “Saya menghukum dengan kitabullah”. Jika tidak kau dapati? Jawab Mu’adz: “saya menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Jika tidak kau dapati? Jawab Mu’adz: “ saya berijtihad menurut pendapatku dengan tidak mengurangi daya ikhtiarku”. Kemudian Rasulullah menepuk nepuk dadanya sambil bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rasululah (yakni: Mu’adz), bagi apa yang diridhai Rasulullah.
Dari dialog tersebut dapat dipahami bahwa tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam menetapkan hukum Islam secara umum adalah sebagai berikut:
1. Mencari dalil yang terdapat di dalam nash-nash al-Qur’an
2. mencari dalil yang terdapat di dalam sunnah Rasul (baik yang bersifat fi’ly, qauly, maupun taqriry)
3. melakukan ijtihad dengan tetap memperhatikan ruh syari’at yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah Nabi.
Tentu saja masing-masing tahapan harus dilalui dengan penelitian yang sungguh-sungguh. Sebab bukan tidak mustahil ada sebagian “mujtahid” yang tanpa penelitian mendalam cepat mengambil kesimpulan bahwa masalah yang dihadapinya tidak disinggung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Senada dengan pernyataan hadits di atas, adalah pernyataan Umar bin Khattab yang dituangkan dalam surat yang kirimkan kepada Syureih dan lain-lain, sebagai berikut:
أَنِ اقْضِ بِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص م فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَاقْضِ بِمَا قَضَى بِهِ الصَّالِحُوْنَ وَ إِلاَّ فَاجْتَهِدْ رَأْيَكَ.
“Hendaknya kamu memberi hukum dengan kitab Allah (al-Qur’an), jika kamu tidak mendapatkannya, maka dengan Sunnah Rasulullah, bila tidak kamu dapatkan maka hendaklah dengan apa-apa yang telah diputuskan oleh orang-orang shalih, dan bila tidak ada maka hendaknya berijtihad dengan pendapatmu”.
Pernyataan Umar di atas dapat dikatakan sebagai perluasan atas riwayat mengenai dialog Nabi dengan Muadz bin Jabal. Ini bisa dimaklumi karena proses penetapan hukum setelah Nabi wafat (masa shahabat) pada umumnya menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur’an;
2. Mencari ketentuan hukumnya dalam Sunnah Rasulullah;
3. Memusyawarahkan masalah itu, di mana khalifah mengundang para tokoh shahabat untuk dimintai pendapatnya tentang hukum sesuatu masalah yang dihadapinya. Bila mereka mendapatkan kata sepakat, khalifah melaksanakan hasil musyawarah itu. Apabila tidak mendapatkan kata sepakat, maka khalifah mengambil alih dan menentukan atau mengemukakan suatu pendapat yang dipandang lebih maslahat.
Dengan demikian, pernyataan Umar: “hendaklah harus dengan apa-apa yang telah diputuskan oleh salaf al-shaleh”. Mengandung arti bahwa sebelum melakukan ijtihad secara individu, hendaknya seorang mujtahid melihat terlebih dahulu hal-hal yang sudah dibahas oleh para tokoh shahabat. Pendapat para tokoh shahabat ini, pada perkembangan selanjutnya ada yang memaknai sebagai sebuah konsensus atau ijma’.
Pada masa ini, proses ijtihad menempuh dua cara, yaitu: mengeluarkan hukum dengan cara menggunakan ra’yu (pendapat pribadi secara mendalam), dan mengeluarkan hukum dengan cara mengadakan ijma’ (kesepakatan kelompok secata mendalam).
Pada masa selanjutnya, dikenal pula langkah-langkah lain seperti; qiyas (analogi), istihsan, maslahat mursalah, dan istishhab.
Mengenai hal ini, secara rinci Hasbi al-Shiddieqy menyatakan bahwa langkah-langkah yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam menyelesaikan maslah-masalah hukum adalah:
a- Hendaklah ia memperhatikan nash-nash al-Qur’an, lalu khabar mutawatir. Sesudah itu khabar ahad.
b- Jika tidak ditemukan, hendaknya berpegang pada dhahir-dhahir al-Qur’an dan Sunnah, serta dari mantuq dan mafhum keduanya.
c- Jika tidak ditemukan, hendaknya memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi, lalu ketetapan-ketetapannya (taqrirnya).
d- Jika tidak ditemukan, hendaknya memperhatikan fatwa-fatwa shahabat.
e- Jika tidak ditemukan, barulah ia menetapkannya dengan qiyas atau salah satu dalil yang dibenarkan syara’ dengan memperhatikan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan.
Di dalam menghadapi dalil-dalil yang dianggap berlawanan, Hasbi menyatakan: “Hendaknya mendahulukan sistem mengumpulkan atau mengkompromikan dalil-dalil itu menurut cara-cara yang dibenarkan kaidah. Jika tidak mungkin dikompromikan dan dikumpulkan, barulah dicari cara menguatkan salah satu dari dalil itu”.[15]
Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa langkah-langkah penerapan suatu dalil dalam menemukan dan menetapkan hukum syara’ secara makro ada tiga, pertama; menjadikan al-Qur’an sebagai dalil hukum yang pertama, kedua; menjadikan Sunnah Rasulullah sebagai dalil yang kedua; dan ketiga; menjadikan ijtihad sebagai metode dalam menemukan dalil hukum sesudah al-Qur’an dan Sunnah dengan berpegang pada prinsip sesuai dengan ruh keduanya serta bepijak pada tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah).
Dalil yang dihasilkan dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam istilah ushul fikih disebut dalil al-nash (petunjuk tekstual), sedangkan dalil yang dihasilkan melalui proses ijtihad disebut dalil al-ijtihad (petunjuk yang bersifat ijtihadiyah). Dalil ijtihad ini merupakan dalil yang dilahirkan melalui proses pemikiran ulang dan penafsiran ulang atas suatu hukum secara independen. Alat pokok yang digunakan dalam berijtihad adalah ra’yu (pertimbangan mendalam dari suatu pendapat pribadi).
Dalam perjalanan sejarahnya, jumlah dalil ijtihad ini mencapai sekitar empat puluhan bahkan lebih. Dari jumlah ini, yang populer sekitar delapan dalil saja, yaitu: ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, istishhab,‘urf, madzhab shahaby, syar’u man qablana. dua dalil yang pertama; ijma dan qiyas, disepakati penggunaannya sebagai dalil oleh jumhur ulama, sedangkan yang lainnya para ulama masih berselisih di dalam penggunaannya. [16]
Mengenai kedudukan dalil ijtihad –apakah ia menjadi hujjah dalam menetapakan hukum sesutu masalah atau tidak?- akan ditentukan oleh seberapa dekat kesesuainnya dengan kedua sumber hukum pokok dalam Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
D. Penutup
Makalah ini salah satu upaya “pelurusan” kembali tentang beberapa langkah yang semestinya dijadikan sebagai tolok ukur dalam penerapan dalil pada proses ijtihad hukum.
Upaya ini dilakukan karena masalah-masalah baru baik berhubungan dengan masalah ekonomi, sosial, kedokteran, politik dan sebagainya terus bermunculan di tengah-tengah masyarakat dan secara naluri membutuhkan kepastian hukum. Bila langkah-langkah yang dilakukan oleh para mujtahid dalam menemukan dan menetapkan hukum atas sesuatu masalah dimaksud keluar dari ketentuan-ketentuan yang semestinya, maka bisa jadi produk hukum yang ditetapkannya akan keluar dari ruh syari’at Islam. Bahkan lebih dari itu, ia juga dapat menjadi sebuah produk hukum yang membingungkan dan kontroversial, menyesatkan dan membahayakan.
Oleh karena itu, memahami kembali sistematika penerapan dalil dalam menemukan dan menetapkan hukum adalah sesuatu yang esensial. Setidaknya, para mujtahid atau ulama memahami secara mendalam teori umum dari langkah-langkah yang harus ditempuh ketika mereka dihadapkan pada permasalahan baru yang membutuhkan kepastian hukumnya dalam Islam.
Langkah-langkah penerapan dalil dalam menemukan dan menetapakan hukum dimaksud adalah mula-mula mencari jawaban di dalam al-Qur’an melalui ayat-ayatnya yang sangat beragam baik yang bersifat qath’i maupun dlanni, yang kully maupun Juz’iy; jika tidak didapati, mencari jawaban di dalam Sunnah Nabi; jika masih belum ditemukan, mencari jawaban dari ijma’; jika masih belum ditemukan, mencari jawaban dangan menggunakan qiyas; jika masih belum ditemukan jawabannya, maka mencari jawaban dengan menggunakan dalil-dalil lainnya yang dihasilkan melalui ijtihad.
Dalil-dalil yang dihasilkan melalui ijtihad ini jumlahnya sangat banyak, yang populer selain dalil di atas ialah istihsan, maslahat mursalah, istshhab, ‘urf, madzhab shahabi, dan syar’u man qablana.
Dalil-dalil hukum di atas dibedakan menjadi dua bagian, yaitu dalil manshus (tertulis) dan dalil ijtihadi (dalil tidak tertulis).
Dengan melalui langkah-langkah di atas, diharapkan agar produk hukum Islam yang berkembang di masyarakat akan terus sesuai dengan syari’at Islam dan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan ummat manusia. Wallahu A’lam.












DAFTAR PUSTAKA

A. Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1990.
Ahmad Warson Munawwir. Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Ahmad Hasan. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terj.Agah Garnadi. Bandung: Pustaka, 1993.
Al Yasa Abubakar. Ke Arah Ushul Fiqih Kontemporer dalam Majalah Ar-Raniry No. 68 tahun 1990.
A. Wahab Khlallaf. Ilmu Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikri, 1990.
Al-Syatibi. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III. Mesir: Dar al-Fikri al-Araby, t.t.
A. Djazuli dan I. Nurol Aen. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Fazlur Rahman. Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka,1984.
Hasbi al-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam I. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Muhammad al-Hudlary. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy. Jeddah: al-Haramain li al-thiba’ah wa al-nasyri wa al-Tauzi’, t.t.
Nicolas P. Aghnides. Pengantar Ilmu Hukum Islam. Terj. Roesli DMB. Solo: Ramadhani, 1984.
Yusuf Qardlawy. Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Romli SA. Muqaranah Madzahib fi al-Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Yusuf Qardlawi. Ijtihad dalam Syari’at Islam. Terj. Achmad Syathori. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.








[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesai,(Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 450.
[2] A. Wahab Khlallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikri, 1990), h. 20.
[3] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz III,.( Mesir: Dar al-Fikri al-Araby, t.t), h. 41.
[4] Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hal. 185
[5] Uraian lebih lanjut mengenai dalil-dalil ini, lihat Hasbi, Pengantar…, h. 185-186.
[6] Lihat Romli SA, Muqaranah Madzahib fi al-Ushul,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 47-49.
[7] A. Djazuli dan I, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 86.
[8] Yusuf Qardlawi, Ijtihad dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 2-4.
[9] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum tertutup, Terj. Agah Garnadi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 103-104.
[10] Hasbi Ash Shddieqy, Pengantar Hukum ….., h. 140-141.
[11] Uraian lebih lanjut mengenai persyaratan mujtahid ini dapat dilahat dalam Yusuf Qardlawi, Ijtihad dalam Syari’at Islam. Hal. 6-67.
[12] Yusuf Qardlawi. Ijtihad ….. h. 76.
[13] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad…, h. 38.
[14] Al Yasa Abubakar, “Ke Arah Ushul Fiqih Kontemporer”, dalam Majalah Ar-Raniry No. 68 tahun 1990, h.13.
[15] Hasbi Ash Shiddieqy, Penganta…, h. 152.
[16] A. Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1990), h. 22.

Tidak ada komentar: